Isu tersebut di antaranya terkait hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law), pidana mati, penyerangan terhadap harkat dan martabat presiden dan wakil presiden, tindak pidana karena memiliki kekuatan gaib, dokter atau dokter gigi yang melaksanakan pekerjaannya tanpa izin.
Kemudian terkait unggas dan ternak yang merusak kebun yang ditaburi benih, contempt of court berkaitan dengan dipublikasikan secara langsung tidak diperkenankan, advokat curang dapat berpotensi bias terhadap salah satu profesi penegak hukum saja yang diatur (diusulkan untuk dihapus), penodaan agama, penganiayaan hewan, penggelandangan, pengguguran kehamilan atau aborsi, perzinahan, kohabitasi dan pemerkosaan.
Senada dengan Surastini, Juru Bicara Tim Sosialisasi Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang (RUU KUHP) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Albert Aries, pun meminta seluruh elemen bangsa termasuk masyarakat untuk terus terlibat memberikan masukan terhadap penyempurnaan beleid tersebut, sebelum disahkan menjadi Undang-Undang.
"Sosialiasi dan dialog publik sesuai arahan Presiden Joko Widodo pada 2 Agustus 2022. Ini tentu agar RUU KUHP mendapat masukan dari masyarakat," kata Albert.
Baca Juga: DPR RI Sepakati Anggaran Kementerian PUPR 2023 Capai 125, 2 Triliun Rupiah, Inilah Sasarannya
Pihaknya pun optimistis, dengan dibukanya komunikasi dan dialog publik, tidak hanya menguatkan, tapi yang paling penting masyarakat paham pasal perpasal dari RUU KUHP sebelum disahkan menjadi Undang-Undang.
“Termasuk 14 pasal krusial seperti penghinaan terhadap harkat dan martabat presiden dan wakil presiden di pasal 218, dan 219. Masyarakat akan memahami 14 isu krusial RKUHP serta keunggulannya sebagai hukum pidana dan sistem pemidanaan yang modern, yang mengusung keadilan restoratif, keadilan korektif dan keadilan rehabilitatif,” katanya.
14 Pasal Krusial RKUHP
Berikut daftar 14 pasal krusial merujuk naskah RKUHP hasil perbaikan terakhir dalam rapat pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 7 Juli 2022.
1. Living law atau pidana adat