Di sinilah demokrasi di Indonesia diatur dalam konstitusi itu berdasarkan nilai yang tercemin dalam masyarakat, baik dari sisi budaya, adat, agama, sosial, dan aspek sosiologis lainnya.
Sehingga dengan indikator demikian lalu kita bukan mengartikan bahwa demokrasi itu adalah kebebasan sebatas demokrasi prosedural semata, tapi memang karena faktor demikiran sehingga para the founding father kita merumuskan konstitusi yang berkaitan dengan kebebasan demokrasi ini sesuai dengan nilai yang ada.
Sehingga saya sering mengartikulasikan demokrasi itu adalah alat yang terukur sesuai dengan keadaan sosiologis, budaya, agama, suatu negara, untuk mencapai kualitas suatu negara menuju perubahan yang diimpikan masyarakatnya.
Dengan demikian rakyat ketika memberikan kritik dan saran kepada suatu rejim, maka paling tidak memiliki sandaran yang terukur, dn tidak dianggap sebagai kritik yang parsial, juga sebagai bola liar yang dapat dipertanggung jawabkan.
Oleh karena itu, dalam mewujudkan kehidupan berbangsa yang demokratis, kritik harus selalu dirawat dan dihargai. Tidak boleh dibungkam dan dikucilkan, tak terkecuali mereka yang aktif melontarkan kritik.
Demokrasi dan kritik adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Keduanya saling membutuhkan. Demokrasi tanpa kritik terasa hambar. Sementara kritik tanpa ruang kebebasan yang diberikan, maka demokrasi tak akan berkembang.
Maka tak salah jika kita menganggap bahwa demokrasi yang “berhasil” adalah demokrasi yang menghargai “kritik” setiap warga negara. Lalu memaknainya sebagai bentuk kepedulian bersama untuk membangun iklim demokrasi yang sebenar-benarnya demokrasi. Jika tidak, maka demokrasi Pancasila selamanya akan menjadi mimpi yang tak akan pernah menjadi kenyataan. (Penulis adalah Jihad Tuharea, Mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Papua)