PORTAL PAPUA - OAP vs OAP Yang Sukses Non OAP ( Sebuah Refleksi Singkat Seputar Pileg 2024) Oleh : Jan Willem Ongge
Kewenangan yang telah diberikan oleh pemerintah pusat melalui PP.No.106/2021 yang menjadi produk hukum dari UU.No.2/2021 tentang Otsus Papua untuk mengutamakan hak-hak orang asli papua adalah solusi terbaik dan menindak lanjuti keputusan MRP.No.2 tahun 2024 untuk mendukung pemilu damai dan bermartabat serta berpihak pada orang Asli Papua.
Aturan diatas sudah sangat baik dan sangat jelas jika dilaksanakan dengan komitmen yang jelas, jujur dan adil sehingga kalimat keberpihakan bagi orang asli Papua benar-benar terwujud.dan membumi di Tanah Papua .
Implementasinya yang belum hingga hari in,.dan kapan bisa terwujud cita-cita dari otsus itu sendiri yang adalah menjadi tuan di negerinya sendiri, Jangan- jangan otsus hanya sebuah permen politik (Theys.H.Eluay) untuk meredam konflik pada waktu itu.
Fenomena yang terjadi sebelum pemilu dan sesudah pemilu legislative 2024 yang baru lalu di Kota Jayapura bahkan di tempat-tempat lain, tentu merasakan hal yang sama. Pada tanggal 14 Februari 2024 yang baru lalu, kita melihat saudara-saudara kita yang OAP pura-pura dan tidak saling kenal dengan para caleg OAP, justru mereka lebih dekat dengan caleg Non OAP, mengapa hal itu terjadii karena dia bisa mendapat sejumlah uang untuk jual beli suara dari orang asli Papua.
Selain itu mata mereka juga telah dibutakan dengan lembaran uang kertas, dari Rp.300.000 sampai dengan Rp.500.000,-Mereka siap dan bersedia menjadi pelacur politik untuk belanja suara dari sesama OAP, Ibarat kisah Yudas menjual Yesus hanya dengan 30 keping perak, untuk membeli suara saudaranya yang rambut keriting kepada Non OAP hanya demi sesuap nasi . Ini yang namanya OAP tipu OAP, harga diri sudah tidak ada, urat malu sudah putus. aktif ke gereja padahal Cuma topeng belaka.Penyangkalan terhadap indentitas OAP merupakan sebuah kekonyolan.
Orang dari daerah lain, suku lain, ketika terpilih, duduk dan mewakili kita dan mengatur kita, mengatur rumah kita, mengatur dapur kita dan menjadi penonton. Apa yang bisa dia buat, budaya dan culture saja bedah.
Begitu selesai Pileg mereka jadi pengemis minta-minta rokok, minta pinang sampai minta pinjam uang , hal ini bukan sekedar cerita tapi realita. Ketika terima uang yang banyak dari Non OAP dia tidak kenal orang. Ada tetangga dilingkungannya, bahkan saudaranya pura-pura tidak kenal. Lebih parah lagi kalau penyelenggara pileg yang nota bene orang asli Papua seharusnya bisa membuka ruang bagi OAP, tetapi hal itu tidak terjadi karna mereka lebih utamakan Non OAP dari pada OAP dan itu fakta.
Para pelacur politik 5 (lima) tahunan yang suka mencari dan menjual suara saudaranya sesama OAP dengan nilai yang fantastis di banding menolong saudaranya sesama OAP, hal ini tidak berbeda dengan kisah situkang mimpi yang bernama Yusup anak Yakub, dibuang ke dalam sumur dan dijual ke Mesir oleh saudara-saudaranya sendiri.