JAKARTA (LINTAS PAPUA) - Stockholm Syndrom bisa terjadi pada siapa saja, bahkan kepada korban kekerasan itu sendiri. Sayangnya, sampai saat ini belum ada penelitian lebih lanjut mengapa orang yang menjadi korban bisa bersimpati terhadap pelaku kejahatan.
Meski begitu, sindrom ini bukanlah diagnosis psikologis, melainkan upaya untuk menjelaskan gejala yang muncul pada beberapa individu yang menjadi korban kejahatan, terutama penyanderaan.
Baca Juga: Cara Cepat Sajian Banana Roll, Bisa Dinikmati Bersama Keluarga
Korban pengidap Stockholm syndrom akan menjadi terikat dengan penculiknya dan mungkin bisa tumbuh perasaan cinta, empati, atau keinginan untuk melindungi penculiknya.
Korban juga sering mengembangkan perasaan negatif terhadap polisi atau pihak lain yang mencoba menyelamatkannya.
Apakah pernah melihat seseorang atau diri sendiri ketika melihat peristiwa kejahatan, justru malah muncul empati terhadap pelaku?
Atau bisa juga saat menjadi korban dalam suatu tindakan kejahatan, bukannya marah malah empati terhadap pelaku.
Padahal sudah tau kalau pelaku kejahatan sudah membuat kesalahan besar dalam hidupnya, dan seharusnya menerima konsekuensi dari perbuatannya bukan malah dikasihani.