Apakah itu Stockholm Syndrom ?? Harus Dihindari Sedini Mungkin Jika Kita Suka Kejahatan

6 September 2022, 08:09 WIB
Ilustrasi penangkapan pelaku kejahatan. /Pixabay


JAKARTA (LINTAS PAPUA) -  Stockholm Syndrom bisa terjadi pada siapa saja, bahkan kepada korban kekerasan itu sendiri. Sayangnya, sampai saat ini belum ada penelitian lebih lanjut mengapa orang yang menjadi korban bisa bersimpati terhadap pelaku kejahatan.

Meski begitu, sindrom ini bukanlah diagnosis psikologis, melainkan upaya untuk menjelaskan gejala yang muncul pada beberapa individu yang menjadi korban kejahatan, terutama penyanderaan.

Baca Juga: Cara Cepat Sajian Banana Roll, Bisa Dinikmati Bersama Keluarga

Korban pengidap Stockholm syndrom akan menjadi terikat dengan penculiknya dan mungkin bisa tumbuh perasaan cinta, empati, atau keinginan untuk melindungi penculiknya.


Korban juga sering mengembangkan perasaan negatif terhadap polisi atau pihak lain yang mencoba menyelamatkannya.

Apakah pernah melihat seseorang atau diri sendiri ketika melihat peristiwa kejahatan, justru malah muncul empati terhadap pelaku?

 

Atau bisa juga saat menjadi korban dalam suatu tindakan kejahatan, bukannya marah malah empati terhadap pelaku.

Padahal sudah tau kalau pelaku kejahatan sudah membuat kesalahan besar dalam hidupnya, dan seharusnya menerima konsekuensi dari perbuatannya bukan malah dikasihani.

 

Entah rasa empati itu muncul karena sisi kemanusiaan, atau pelaku kejahatan yang dimaksud berperilaku baik.

Dalam dunia medis, kondisi seperti itu disebut sebagai Stockholm Syndrome, yang merupakan bentuk mekanisme koping untuk melindungi diri sendiri dari trauma.


Dikutip Pikiran-Rakyat.com dari Good Therapy, Stockholm Syndrome adalah kondisi psikologis, yang terjadi ketika seorang korban pelecehan merasa melekat atau terikat secara positif, dan berempati terhadap pelaku.

 

Biasanya empati terhadap pelaku kejahatan muncul ketika seseorang telah mengetahui latar belakang pelaku, kemudian motifnya melakukan tindakan kejahatan tersebut.

Maka saat seseorang menjadikan rasa empati sebagai pemakluman atas perbuatan jahat yang dilakukan orang lain, kondisi seperti ini disebut sebagai Stockholm Syndrome.

 

Baca Juga: Inilah Cara Mudah Membuat Tempe Goreng Bumbu ala @silvialim18

Supaya lebih memahami apa itu Stockholm Syndrome dan agar bisa membedakannya dengan empati biasa, dibawah ini telah disusun ciri-cirinya:

- Memiliki perasaan positif terhadap pelaku kejahatan seperti pelecehan atau penculikan

- Bersimpati pada perbuatan pelaku dari orang yang sudah melakukan tindakan kejahatan

- Memiliki keyakinan akan kebaikan pelaku kejahatan

- Perasaan negatif terhadap polisi atau pihak berwajib lain yang menangkap si pelaku kejahatan

- Perasaan kasihan terhadap pelaku, percaya bahwa mereka sebenarnya adalah korban sendiri.

 

Kemudian dari studi para peneliti membuat kesimpulan penyebab untuk menjelaskan fenomena tersebut. Seorang yang mengembangkan sindrom ini sering mengalami gejala stres setelah trauma.

Nama sindrom ini berasal dari perampokan bank yang gagal di Stockholm, Swedia. Pada Bulan Agustus 1973 empat karyawan Sveriges Kredit Bank disandera di brankas bank selama enam hari.

Baca Juga: Cara Pelatih Persewar Menanggapi Format Baru Tiga Wilayah Liga 2 2022-2023 Diikuti 28 Tim Hanya 3 Lolos Liga 1

Saat itu terjalin hubungan antara pelaku sandera dengan korban, hingga salah seorang sandera selama panggilan telepon dengan Perdana Menteri Swedia Olof Palme, menyatakan dia sepenuhnya percaya pada penculik.***

Editor: Eveerth Joumilena

Tags

Terkini

Terpopuler