Cerita Tentang Peneliti Jerman Bangun Lapangan Terbang di Papua

- 13 Maret 2021, 03:22 WIB
Ilustrasi Lapangan Terbang di Papua
Ilustrasi Lapangan Terbang di Papua /Foto:Flightzona.com/
PORTAL PAPUA-Sangat sedikit publikasi dan penelitian tentang Papua, baik itu alam maupun budayanya. Hal ini berbeda jauh dengan Papua Nugini. Publikasi tentang Papua Nugini sudah banyak, baik buku cetak, buku elektronik maupun artikel jurnal ilmiah.
 
Sehingga Papua, hingga saat ini merupakan surga kecil yang jatuh ke bumi bagi para peneliti. Salah satu peneliti yang sudah lama melakukan penelitian di pegunungan Papua adalah Wulf Schiefenhoevel, profesor antropologi medis Max Planck Institut Jerman. Wulf memulai penelitian di Eipomek, Pegunungan Bintang yang berada pada ketinggian 2500 m dpl.
 
 
Untuk memperlancar kegiatan penelitiannya, pada 1974, ia dibantu seorang suku Dani bernama Tayiniyak dan beberapa orang Eipo untuk membuat sebuah lapangan terbang untuk pesawat kecil. Pembuatan lapangan terbang ini sepenuhnya mengandalkan tenaga manusia, dengan alat linggis dan sekop.
 
"Saya dan tim peneliti Jerman menamakan Eipomek untuk daerah yang kami bangun lapangan terbang, sebelumnya di peta hanya disebut sebagai Lembah X saja," kata Wulf.
 
 
Wulf menambahkan orang Eipo yang tinggal di Lembah X adalah penutup jalan paling dramatik dari masa kapak batu prasejarah ke dunia digital dalam satu generasi tanpa membaca buku karya Aristoteles.
 
Wulf mengatakan, "pada Juli 1975, lapangan terbang hasil kerja kami, pertama kali didarati pesawat kecil. Saat itu kami sangat senang dapat berfoto dengan orang Eipo, mereka obyek foto yang bagus, namun di era digital ini, kebalikannya, justru kami orang kulit putih yang jadi pusat perhatian, dan mereka jadikan obyek foto".
 
 
Orang Eipo di Pegunungan Bintang, seperti semua penduduk Papua pedalaman,  dahulu biasa memanen hasil kebun setiap hari dan langsung mengolahnya dan dikonsumsi hari itu juga. Mereka tidak biasa menyimpan bahan makanan pokok seperti ubi jalar dan pisang lebih dari satu hari.
 
Tetapi ada beberapa makanan yang mereka olah dan simpan untuk beberapa hari.
 
Biji buah pandanus brosimos atau dalam bahasa Eipo disebut win, tanaman ini mudah didapat di hutan, setelah dipanen, bijinya diasap di bara api, selanjutnya disimpan untuk berberapa minggu sebagai cadangan makanan. Biji pandan ini penting sekali karena mengandung lemak dan protein, lemak sangat langka dataran tinggi Eipo. 
 
 
Menurut Wulf, selain biji pandan, ada juga daging kuskus diburu di hutan, diasap di atas api juga dan nanti dibungkus dalam daun, upamanya daun pisang. Bisa simpan dua minggu atau sedikit lebih. Daging kuskus asap ini nanti dimasak metode bakar batu. Kuskus itu penting untuk pesta besar, dikasih kepada tamu dari lembah atau desa lain. Juga orang laki-laki Eipo harus kasih kuskus kepada keluarga perempuan muda yang dia mau kawin.
 
 
Hari Suroto: Suku Eipo tidak mengenal sagu, sumber karbohidrat mereka berasal dari keladi, ubi jalar dan pisang. Pohon sagu tidak dapat tumbuh di Pegunungan Bintang. Keladi dan pisang merupakan makanan yang sudah dikenal dan dibudidayakan secara intensif sejak jaman prasejarah, sedangkan ubi jalar baru dikenal 500 tahun yang lalu. Sedangkan sumber protein didapat dari hewan hasil buruan berukuran kecil seperti kuskus dan quol. Tidak ada hewan berukuran besar di hutan Pegunungan Bintang.
 
Sebelum  tahun 1974, tidak ada ikan sama sekali di sungai-sungai Pegunungan Bintang, setelah adanya penerbangan perintis, ikan air tawar didatangkan dari Sentani, untuk dibudidayakan di kolam.(Hari Suroto, Arkeolog Balai Arkeologi Papua)

Editor: Atakey


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x