Tingkat ASI Ekslusif Meningkat, Tapi Stunting Masih Tinggi di Beberapa Wilayah

- 16 Februari 2024, 09:18 WIB
Ilustrasi Ibu Lagi Menyusui. Dalam beberapa tahun terakhir, tren pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara ekslusif terus mengalami peningkatan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan persentase pemberian ASI eksklusif nasional terus meningkat dalam 4 tahun terakhir.
Ilustrasi Ibu Lagi Menyusui. Dalam beberapa tahun terakhir, tren pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara ekslusif terus mengalami peningkatan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan persentase pemberian ASI eksklusif nasional terus meningkat dalam 4 tahun terakhir. /

PORTAL PAPUA – Dalam beberapa tahun terakhir, tren pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara ekslusif terus mengalami peningkatan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan persentase pemberian ASI eksklusif nasional terus meningkat dalam 4 tahun terakhir.

Di kutip dari laman BPS, persentase pemberian ASI eksklusif di dalam negeri mencapai 72,04% dari populasi bayi berusia 0-6 bulan pada 2022. Angka itu meningkat 0,65% dibandingkan tahun sebelumnya (year-on-year/yoy) yang sebesar 71,58%.

Menariknya, propinsi dengan persentase pemberian ASI ekslusif tertinggi adalah Nusa Tenggara Barat (NTB), dan sekaligus juga menjadi propinsi yang berada pada urutan ke 4 stunting tertinggi di Indonesia, yaitu 32,7%. Padahal, pemberian ASI ekslusif diyakini syarat mutlak untuk pencegahan stunting.

Ketua DPN Bidang Kesehatan Perempuan dan Anak Repdem Rusmarni Rusli mengatakan, anomali ASI ekslusif dan stunting di NTB harus menjadi perhatian pemerintah. “Selama ini pemerintah selalu berlindung dibalik ASI ekslusif sebagai cara mengatasi stunting. Seolah-olah para ibu yang tidak mampu memberikan ASI untuk anak. Padahal ada persoalan lain di sini yaitu kecukupan gizi. ASI saja tidak cukup bila asupan gizi tidak seimbang,” jelas Rusmarni.

Di sisi lain, aktivis yang akrab di sapa Marni ini juga mengatakan, bicara tentang ASI juga tidak terlepas dari hak-hak perempuan, terutama perempuan pekerja yang hingga saat ini masih di abaikan oleh negara.

“Agar anak tidak stunting, ibu wajib memberikan ASI ekslusif selama 6 bulan. Sementara, hak cuti melahirkan pegawai yang ditanggung negara hanya 3 bulan. Artinya, selama 3-4 bulan selanjutnya, para ibu bekerja ini harus berjuang sendiri demi memberikan ASI, bisa tuntas bisa juga gagal bila tidak memiliki support system yang baik. Yang lebih memprihatinkan adalah perempuan dan ibu yang bekerja sebagai buruh pabrik, lebih minim lagi perlindungannya. Ada sekitar 20% atau 10 juta perempuan bekerja sebagai tenaga produksi (pabrik), artinya, anak-anak dari 10 juta ibu ini beresiko tidak mendapatkan ASI secara ekslusif,” pungkas Marni.

Oleh karena, Marni berharap pemerintah dan juga para stakeholder dapat mengatasi persoalan ASI dan stunting dari akarnya seperti ekonomi, edukasi masyarakat serta lingkungan dan support system yang baik untuk ibu. “Tidak hanya perempuan yang bekerja, bahkan ibu rumah tanggapun beresiko gagal memberikan ASI ekslusif, karena banyak faktor. Karena itu yang dibutuhkan adalah regulasi yang melindungi perempuan terutama ibu bekerja,” imbuhnya.

Nurul Yani misalnya. Penjual perabot rumah tangga ini mengaku mengalami kesulitan memberikan ASI eksklusif untuk putrinya karena ASI nya terus menerus berkurang. Ia bahkan sudah berupaya memenuhi asupan gizi dengan tambahan booster ASI. Namun, tuntutan dan lingkungan kerja tidak leluasa bagi Yani untuk melalukan pumping ASI. Ia pun akhirnya terpaksa menambahkan susu formula agar kebutuhan gizi putrinya terpenuhi. “Bagaimanapun saya juga harus bekerja, tidak bisa hanya mengandalkan penghasilan suami saja,” ujar Yani.

Tak jauh berbeda, Nurlaila seorang karyawan perusahaan teknologi di Jakarta mengaku akhirnya memberikan susu formula untuk anak keduanya saat harus kembali bekerja. “Awalnya sempat berusaha pumping ASI di kantor. Tapi lama-lama stress juga, rajin pumping tapi ASI semakin sedikit dan tidak cukup. Akhirnya saya menguatkan diri untuk mengabaikan perkataan orang lain yang menyayangkan saya terpaksa memberikan susu tambahan. Saya pikir, ketenangan ibu lebih penting daripada memaksakan hal yang malah membuat pikiran saya menjadi berantakan,” jelas Nurlaila.

Halaman:

Editor: Eveerth Joumilena

Sumber: BPS


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x