Baca Juga: 17.000 Tahun yang Lalu, Papua dan Australia Tergabung Jadi Satu Daratan Unik, Ini Faktanya
“Pengalaman yang menyenangkan selama tugas penelitian di lapangan yaitu selalu mendapat pengalaman baru. Untuk menuju situs arkeologi harus masuk ke hutan, naik speed boat melewati laut menuju pulau-pulau kecil. Terus di masing-masing situs arkeologi yang saya datangi itu punya cerita unik. Bekerja di sini itu ya seperti berpetualang. Akses transportasinya memang masih susah dan tentu saja akses telekomunikasi yang belum merata. Tapi itu bagian dari pengalaman berharga yang menyenangkan, ya begitu sudah,” urai Hari.
Sebagai seorang peneliti Hari punya misi yang mulia. Ia berharap melalui penelitian-penelitiannnya bersama tim di Balai Arkeologi, Papua semakin dikenal luas oleh dunia. Targetnya adalah hasil dari penelitian yang dikerjakan harus bermanfaat bagi masyarakat. Situs-situs arkeologi dapat dikembangkan sebagai destinasi wisata berkelanjutan dengan memperhatikan kelestarian tinggalan arkeologi itu sendiri. Selain itu tinggalan arkeologi seperti lukisan prasejarah di tebing karang di Fakfak, Kaimana dan Raja Ampat dapat dikembangkan guna mendukung ekonomi kreatif.
Baca Juga: Noken Suku Maybrat Hasil Kerajinan Tangan Masyarakat Asli Papua dari Kulit Kayu Pohon Biyik
Tahun 2020 lalu, Hari melakukan penelitian motif megalitik Tutari. Motif ini merupakan salah satu karya seni dari Sentani. Motif Tutari jelasnya punya manfaat untuk pelestarian arkeologi. Hari dan timnya dari Balai pun menaruh harapan agar motif Tutari dapat dilestarikan oleh masyarakat melalui kerajinan tenun dan produk lainnya. Produk kreatif itu sendiri dapat berupa motif batik khas megalitik Tutari yang dibuat pada desain sablon kaos, desain logo produk, digambarkan dalam motif lukisan kulit kayu, atau lukisan media kanvas, seni mural serta buku cerita bergambar tentang Tutari.
Sosok peneliti yang tekun ini pun tidak hanya menulis pada jurnal tetapi juga memanfaatkan media-media cetak dan online di Papua. Pada media-media tersebut dirinya menulis tentang hasil penelitian. Hari lebih jauh menerangkan bahwa kekurangan arkeologi Papua selama ini adalah jumlah publikasi. Jika dibandingkan dengan Papua Nugini, publikasi hasil penelitian arkeologi di Papua kalah jauh.
Apalagi sudah banyak situs-situs arkeologi yang diteliti di Papua Nugini. Untuk itu arkeologi Papua harus jadi tuan rumah di negeri sendiri. Publikasi tentang arkeolog di Papua harus dilakukan oleh para peneliti Balai Arkeologi Papua. Selain itu di Papua dan Papua Barat, belum banyak masyarakat yang tahu arkeologi, makanya harus terus menerus dilakukan publikasi hasil penelitian.
Hasil penelitian itu ada berbagai macam bentuk dengan target pembacanya, misalnya buku dan jurnal ilmiah itu target pembaca dosen, akademisi, peneliti dan mahasiswa. Sedangkan untuk pelajar sekolah, publikasi dalam bentuk buku pengayaan, buku ilmiah popular atau buku cerita bergambar.
Baca Juga: Ramalan Zodiak 13 Maret 2021, Capricorn Fokus, Aquarius Percaya Diri, Pisces Diam