Kerang Pernah Jadi Alat Tukar Perdagangan Pada Masa Lalu, Begini Ceritanya

- 13 Maret 2021, 09:11 WIB
Kerang
Kerang /Pixabay.com/stux

Baca Juga: Cerita Pelukis Kayu di Jayapura, Pembeli Berkurang Namun Tetap Semangat Melukis

Barang-barang itu diperdagangkan sampai amat jauh sekali, turun naik lereng-lereng gunung ke arah utara sampai ke daerah Sungai Taritatu dan ke danau-danau di sekitar Sungai Mamberamo.

Di wilayah dataran tinggi ini masih bisa ditemukan beberapa jenis moluska laut. Hal ini dimungkinkan karena wilayah dataran tinggi dulunya merupakan dasar laut sebelum akhirnya dasar laut ini ‘naik’ dan membentuk deretan pegunungan tengah Papua. Meskipun demikian, ‘rumah kerang’ yang dimanfaatkan sebagai alat tukar di dataran tinggi ini semuanya berasal dari wilayah pesisir – sebagian besar berasal dari Teluk Cenderawasih. Kesimpulan ini diambil karena Laut Arafura yang dangkal dan keruh di sebelah selatan tidak memungkinkan kerang-kerang (yang rumahnya dipergunakan sebagai alat tukar ini) untuk hidup.

Jadi, diperkirakan jalur yang ditempuh oleh ‘rumah kerang’ ini sampai bisa mencapai wilayah pegunungan adalah sebagai berikut. ‘Rumah kerang’ ini mula-mula masuk melalui arah barat di Teluk Etna atau Nabire, terus ke wilayah Danau Paniai. Kemudian – dengan kemungkinan melalui banyak perantara, ‘rumah-rumah kerang’ inipun menyeberangi Dataran Danau Mamberamo, dan selanjutnya mencapai wilayah pegunungan tengah dan pegunungan tengah dan pegunungan timur.

Baca Juga: Cerita Pelukis Kayu di Jayapura, Pembeli Berkurang Namun Tetap Semangat Melukis

Sebagian ‘rumah kerang’ ini juga diperkirakan dibawa oleh masyarakat dataran tinggi Papua dari Selat Toreros dengan 2 cara: pertama dengan melalui wilayah Marind-Muyu; dan kedua dengan melalui dataran tinggi Papua New Guinea menuju ke arah timur di wilayah yang saat ini tergolong wilayah perbatasan internasional.

Salah satu alat yang paling penting bagi masyarakat dataran tinggi adalah busur. Pada umumnya, masyarakat pegunungan tinggi ini mempergunakan busur yang bahan baku utamanya berasal dari pohon-pohon lokal. Di antara berbagai pohon lokal tersebut, yang dianggap sebagai pohon terbaik sebagai bahan baku pembuat busur ini adalah pohon palem hitam. Namun, pohon ini tidak ditemukan di dataran tinggi; oleh karena itulah maka sekelompok masyarakat yang mendiami wilayah pinggiran pegunungan kemudian sering bepergian ke dataran rendah untuk mengambil kayu pohon palem hitam sekaligus melakukan barter dengan penduduk dataran rendah. Umumnya alat barter penduduk dataran tinggi adalah tembakau dan bulu burung. Kedua jenis komoditi ini biasanya ditukar dengan ‘rumah kerang’ dan busur dari palem hitam.

Baca Juga: Cerita Tentang Peneliti Jerman Bangun Lapangan Terbang di Papua

Kerang jenis Cypraea moneta berperan sebagai alat tukar dalam perdagangan bagi masyarakat pegunungan tinggi Papua. Nilai tukar ‘rumah kerang’ ini bervariasi tergantung umur dan warna. Selain digunakan sebagai alat transaksi perdagangan dalam suku dan wilayahnya sendiri, kerang juga dipergunakan sebagi alat tukar dalam perdagangan dengan suku lain di luar wilayahnya.

Pemerintah Belanda mendirikan pusat pemerintahannya di daratan tinggi pada tahun 1938 di Enarotali, di tepi Danau Paniai. Tempat ini menjadi markas para administrator Belanda dan para missionaris dan mereka mengenalkan gulden sebagai alat pembayaran sehingga mengurangi fungsi kerang sebagai alat pembayaran. Selain itu dengan adanya garam pabrik, sumber-sumber garam di lembah Baliem dengan demikian mulai berkurang artinya, sejak itulah kerang sebagai uang untuk membayar upeti kepada pemilik kolam air asin sudah tidak ada lagi. (Hari Suroto, Arkeolog Balai Arkeologi Papua)

Halaman:

Editor: Atakey


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x