Kerang Pernah Jadi Alat Tukar Perdagangan Pada Masa Lalu, Begini Ceritanya

13 Maret 2021, 09:11 WIB
Kerang /Pixabay.com/stux

PORTAL PAPUA-Pada masa lalu, kerang pernah menjadi alat tukar dalam perdagangan. Cukup banyak suku bangsa di dunia yang mempunyai sistem perdagangan ini, termasuk masyarakat kuno di Papua. Mereka menggunakan kulit kerang Cypraea moneta.

Kerang banyak tersedia di sepanjang pantai Papua, kerang merupakan sumber makanan berprotein tinggi. Kerang yang dapat dimakan tergolong dalam jenis gastropod (yaitu sejenis kerang-kerangan yang memiliki rumah tunggal dan rumah tersebut bentuknya seperti spiral). Gastropod yang dimakan adalah turbo dan nerite. Selain itu terdapat juga jenis kerang bivalve (yaitu kerang yang memiliki dua rumah identik yang digabungkan oleh semacam engsel). Contoh bivalve adalah tiram. Jenis tiram yang dapat dimanfaatkan adalah Geloina coixans. Tiram jenis ini berfungsi ganda, yaitu sebagai sumber makanan, dan ‘rumah’ tiram itu dipakai sebagai semacam pengamplas oleh masyarakat pesisir Papua sampai saat ini.

Baca Juga: Merawat Toleransi di Lembah Balem, Papua Sejak Masuknya Islam Tahun 1964

Di pesisir Papua juga terdapat kerang jenis Cypraea moneta. Kerang jenis ini memiliki fungsi lebih dari sekedar sumber makanan, kulitnya dapat digunakan sebagai alat tukar dalam transaksi perdagangan pada masa lalu sebelum dikenal mata uang kertas.

Nilai tukar ‘rumah kerang’ ini bervariasi tergantung umur dan sejarahnya. ‘Rumah kerang’ yang paling tinggi nilainya bahkan bisa dipakai untuk membayar mas kawin perempuan yang diambil sebagai istri atau untuk membatalkan utang nyawa manusia yang diakibatkan oleh perang suku.

Baca Juga: Sinopsis Yeh Hai Mohabbatein Sabtu, 13 Maret 2021 Santosh Membujuk Madhavi Agar Dapat Bersaksi Dusta

Dataran tinggi membentang sepanjang 650 kilometer dari arah timur dan barat Papua. Bagian terujung di sebelah barat dari dataran tinggi Papua ini terletak di arah barat Danau Paniai, sedangkan bagian terujung di sebelah timurnya berada tepat pada perbatasan antara Indonesia dan Papua Nugini. Daerah ini terdiri dari Pegunungan Jayawijaya (letaknya dekat dengan perbatasan Papua dengan Papua Nugini) yang dipisah oleh Lembah Baliem dari Pegunungan Sudirman, dan Pegunungan Weyland yang terletak di sebelah barat danau-danau Paniai. Wilayah ini dihuni suku bangsa yang mempergunakan kerang sebagai alat tukar dalam transaksi perdagangan di antaranya Suku Mee, Suku Ngalum, Suku Timorini, dan Dani.

Baca Juga: Sinopsis Nazar, Minggu 14 Maret 2021 Episode 77: Mohana Ingin Mengusir Keluar Piya dari Rumah

Komoditi utama yang diperdagangkan oleh masyarakat dataran tinggi umumnya adalah garam, mata pisau dari batu dan babi. Di beberapa lokasi terpisah di wilayah dataran tinggi bisa dijumpai kolam-kolam air asin. Di lembah Baliem bagian timur terdapat dua sumber garam, yaitu di wilayah orang Logo Mabel dan di bagian selatan lembah. Garam dan air garam ditambang orang yang datang dari tempat-tempat yang jauh, dengan cara mencelupkan serat-serat batang pisang ke dalam air yang berkadar garam itu, yang kemudian diperas sehingga yang tertinggal di antara serat-serat itu adalah garam. Setiba mereka di rumah serat-serat itu dikeringkan dan dibakar menjadi abu. Abu itu kemudian digosok-gosok dengan daun pisang hingga lembut, lalu dibungkus dengan daun menjadi semacam paket berbentuk oval dengan berat sekitar dua kilo per paket. Abu inilah yang mereka pakai sebagai garam.

Baca Juga: Tingkatkan Mutu SDM di Maluku Utara, Menaker Teken MoU dengan PT IWIP dan WBN

Orang Logo Mabel, yaitu salah satu konfederasi klan Dani yang menguasai sumber garam itu, pada waktu-waktu tertentu menerima barang-barang berharga, berupa kerang Cypraea moneta, tembakau, alat-alat yang terbuat dari besi, dari orang-orang yang mengambil garam secara perorangan, sedang kelompok-kelompok yang turut memanfaatkan garam itu seringkali memberikan bingkisan kepada kepala atau tokoh-tokoh adat setempat berupa babi.

Orang Dani memang banyak berdagang dengan dunia luar, mobilitas dan hubungan dagang antarkelompok atau antara orang Dani dengan orang-orang Papua lainnya, seperti misalnya dengan orang Jali dari daerah di luar Lembah Balim, atau dengan orang Asmat yang tinggal di bagian selatan Papua, maupun dengan orang Moni, Uhunduni, bahkan dengan orang Mee di daerah Danau Paniai, telah berlangsung sejak lama. Suku-suku bangsa tersebut memang mengenal orang Dani sebagai suku bangsa yang banyak memelihara babi dan menjadi pengekspor babi. Sebaliknya orang Dani mengimpor kerang Cypraea moneta, bulu burung cendrawasih, manik-manik, jaring, damar, garam, sagu dan sebagainya.

Baca Juga: Sinopsis Nazar, Sabtu 13 Maret 2021 Episode 76: Menggunakan Pot Untuk Membebaskan Vedashree

Orang-orang Mee yang tinggal di sekitar danau-danau Wissel, telah menggunakan “uang” sebagai alat penukar. Uang mereka yang berupa kulit kerang Cypraea moneta dan disebut kapaukumege, mempunyai nilai-nilai yang berbeda satu sama lain. Orang-orang Mee membedakan kapaukumege lama dengan kapaukumege baru berdasarkan kilau dan warnanya. Kapaukumege ‘lama’ dianggap lebih tinggi nilainya daripada kapaukumege ‘baru’; nilai tukar kapaukumege ‘lama’ sama dengan 10 kapaukumege ‘baru’.

Harga barang-barang dipengaruhi oleh banyaknya persediaan, penawaran dan permintaan barang yang bersangkutan.

Pedagang-pedagang Kapauku, melakukan perdagangan baik di wilayahnya sendiri, maupun keluar daerah hingga Mimika di pantai selatan. Adapun barang-barang yang diperdagangkan dari daerah pedalaman, ialah bahan-bahan cat oker, kayu kelapa, kapak dan pisau dari batu. Dari daerah pantai diimport garam.

Baca Juga: Sinopsis Kulfi di ANTV Senin, 15 Maret 2021 Dengar Cerita Bohong dari Gunjan, Mahinder Termakan Omongannya

Orang Ngalum yang mendiami lembah di bagian selatan deretan pegunungan Jayawijaya tepatnya di daerah Pegunungan Bintang, mempergunakan kulit kerang Cypraea moneta yang mereka sebut dengan siwol, yang mempunyai nilai berbeda-beda, tergantung dari warna dan ukurannya. Nilai dari suatu benda diukur dengan nilai satu siwol. Karena itu orang Ngalum harus memiliki banyak siwol, yang mereka peroleh dari pantai selatan (daerah Merauke). Dalam berdagang, orang Ngalum menempuh jarak yang cukup jauh sehingga daerah pesisir sekitar Merauke, dan ke arah timur, mereka mempunyai hubungan dagang yang baik dengan penduduk sekitar perbatasan Papua Nugini.

Perdagangan rupa-rupanya juga merupakan suatu aktivitas yang penting dalam masyarakat orang Timorini. Masyarakat Timorini yang tinggal di sekitar lembah-lembah Dika, Panara dan Donda, mempergunakan kerang Cypraea moneta sebagai alat tukar dalam perdagangan, warna dan ukuran kerang harus memenuhi syarat-syarat yang khusus. Alat penukar ini, yang dalam waktu sekitar tahun 1923 rupa-rupanya mempunyai nilai dan daya tukar yang besar pada orang Timorini, disebut tinale. Mereka menjual barang-barang dagangan mereka untuk mendapat tinale tadi. Seekor babi, misalnya, dalam masa itu berharga 10 tinale. Kecuali babi, orang dari lembah pegunungan tengah ini memperdagangkan tembakau, batu untuk kapak-kapak dan kapak-kapak batu yang sudah selesai, tetapi tanpa kayu pegangan.

Baca Juga: Cerita Pelukis Kayu di Jayapura, Pembeli Berkurang Namun Tetap Semangat Melukis

Barang-barang itu diperdagangkan sampai amat jauh sekali, turun naik lereng-lereng gunung ke arah utara sampai ke daerah Sungai Taritatu dan ke danau-danau di sekitar Sungai Mamberamo.

Di wilayah dataran tinggi ini masih bisa ditemukan beberapa jenis moluska laut. Hal ini dimungkinkan karena wilayah dataran tinggi dulunya merupakan dasar laut sebelum akhirnya dasar laut ini ‘naik’ dan membentuk deretan pegunungan tengah Papua. Meskipun demikian, ‘rumah kerang’ yang dimanfaatkan sebagai alat tukar di dataran tinggi ini semuanya berasal dari wilayah pesisir – sebagian besar berasal dari Teluk Cenderawasih. Kesimpulan ini diambil karena Laut Arafura yang dangkal dan keruh di sebelah selatan tidak memungkinkan kerang-kerang (yang rumahnya dipergunakan sebagai alat tukar ini) untuk hidup.

Jadi, diperkirakan jalur yang ditempuh oleh ‘rumah kerang’ ini sampai bisa mencapai wilayah pegunungan adalah sebagai berikut. ‘Rumah kerang’ ini mula-mula masuk melalui arah barat di Teluk Etna atau Nabire, terus ke wilayah Danau Paniai. Kemudian – dengan kemungkinan melalui banyak perantara, ‘rumah-rumah kerang’ inipun menyeberangi Dataran Danau Mamberamo, dan selanjutnya mencapai wilayah pegunungan tengah dan pegunungan tengah dan pegunungan timur.

Baca Juga: Cerita Pelukis Kayu di Jayapura, Pembeli Berkurang Namun Tetap Semangat Melukis

Sebagian ‘rumah kerang’ ini juga diperkirakan dibawa oleh masyarakat dataran tinggi Papua dari Selat Toreros dengan 2 cara: pertama dengan melalui wilayah Marind-Muyu; dan kedua dengan melalui dataran tinggi Papua New Guinea menuju ke arah timur di wilayah yang saat ini tergolong wilayah perbatasan internasional.

Salah satu alat yang paling penting bagi masyarakat dataran tinggi adalah busur. Pada umumnya, masyarakat pegunungan tinggi ini mempergunakan busur yang bahan baku utamanya berasal dari pohon-pohon lokal. Di antara berbagai pohon lokal tersebut, yang dianggap sebagai pohon terbaik sebagai bahan baku pembuat busur ini adalah pohon palem hitam. Namun, pohon ini tidak ditemukan di dataran tinggi; oleh karena itulah maka sekelompok masyarakat yang mendiami wilayah pinggiran pegunungan kemudian sering bepergian ke dataran rendah untuk mengambil kayu pohon palem hitam sekaligus melakukan barter dengan penduduk dataran rendah. Umumnya alat barter penduduk dataran tinggi adalah tembakau dan bulu burung. Kedua jenis komoditi ini biasanya ditukar dengan ‘rumah kerang’ dan busur dari palem hitam.

Baca Juga: Cerita Tentang Peneliti Jerman Bangun Lapangan Terbang di Papua

Kerang jenis Cypraea moneta berperan sebagai alat tukar dalam perdagangan bagi masyarakat pegunungan tinggi Papua. Nilai tukar ‘rumah kerang’ ini bervariasi tergantung umur dan warna. Selain digunakan sebagai alat transaksi perdagangan dalam suku dan wilayahnya sendiri, kerang juga dipergunakan sebagi alat tukar dalam perdagangan dengan suku lain di luar wilayahnya.

Pemerintah Belanda mendirikan pusat pemerintahannya di daratan tinggi pada tahun 1938 di Enarotali, di tepi Danau Paniai. Tempat ini menjadi markas para administrator Belanda dan para missionaris dan mereka mengenalkan gulden sebagai alat pembayaran sehingga mengurangi fungsi kerang sebagai alat pembayaran. Selain itu dengan adanya garam pabrik, sumber-sumber garam di lembah Baliem dengan demikian mulai berkurang artinya, sejak itulah kerang sebagai uang untuk membayar upeti kepada pemilik kolam air asin sudah tidak ada lagi. (Hari Suroto, Arkeolog Balai Arkeologi Papua)

 
 
 
Editor: Atakey

Tags

Terkini

Terpopuler