Jalan Tengah
Peneliti studi Islam UII Yogyakarta Saiful Aziz al-Bantany menuliskan bahwa beda pendapat para ulama kontemporer tentang hukum ucapan selamat Natal hendaknya tidak menjadikan internal umat Islam di Indonesia semakin terpecah hanya diakibatkan oleh perbedaan pemilihan sikap dalam kasus ini.
"Apabila kita memilih sikap untuk membolehkannya, pastikan bahwa pembolehan tersebut demi menjaga kedamaian dan kerukunan antarumat beragama, dengan tetap menjaga akidah kita sebagai seorang Muslim. Jangan sampai karena ada saudara kita yang mengambil sikap mengharamkan-nya, kita serta merta langsung menjustifikasi ia sebagai orang yang intoleransi," ucap dia menegaskan.
Baca Juga: Semakin Seru! Sinopsis Ikatan Cinta Sabtu 26 Desember 2020, Bu Sarah Beri Kesaksian, Elsa Ketakutan
Sebaliknya jika memilih sikap untuk mengharamkan-nya, pastikan bahwa pengharaman tersebut merupakan bentuk ghirah dalam menjaga prinsip akidah umat Islam yang tegas, namun tetap menjaga nilai-nilai toleransi antarumat beragama dengan bentuk yang berbeda.
"Jangan sampai karena ada saudara kita yang mengambil sikap membolehkannya, kita bermudah-mudahan dalam menjustifikasi ia sebagai orang kafir," tuturnya dikutip dari ANTARA.
Ada jalan tengah untuk tetap dapat menyapa mereka yang merayakan Natal dengan santun tanpa harus mengorbankan prinsip akidah, namun tetap bertoleransi.
Baca Juga: Kabar Gembira Bagi Gamers, Developer Game Cyberpunk 2077 Rilis Perangkat Baru Atasi Bug pada PC
Beberapa ucapan yang secara semantik "tidak mengucapkan" selamat Natal di antaranya disampaikan oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. "Atas nama pemerintah dan pribadi saya mengucapkan salam dan selamat merayakan Natal 25 Desember 2020," kata Menag.
Gus Yaqut tidak mengucapkan selamat Natal melainkan selamat merayakan Natal sehingga secara semantik atau makna kebahasaan sangat berbeda.