Konflik Papua, Awas Elit Politik Papua dan Jakarta Mengadu Domba Rakyat Papua, Oleh Ardon Nauw

- 15 Maret 2022, 09:20 WIB
Ardon Etus Nauw, Penulis adalah Koordinator Pusat Studi Transformasi Papua (Pusatpapua), Jayapura-Papua.
Ardon Etus Nauw, Penulis adalah Koordinator Pusat Studi Transformasi Papua (Pusatpapua), Jayapura-Papua. /Foto Pribadi

PORTAL PAPUA  - KONFLIK PAPUA; AWAS ELIT POLITIK PAPUA DAN JAKARTA MENGADU DOMBA RAKYAT PAPUA.

"Sebuah perspektif analisis sosiologi konflik berdasarkan pendekatan Analisis Konflik Multidisipliner Johan Galtung, terkait konflik Papua dan berbagai dinamika konflik yang dimainkan oleh elit politik nasional (Jakarta) maupun elit poltik lokal (Papua) dalam menciptakan disstabilitas politik di Papua saat ini."

(Oleh. Ardon Etus Nauw)
_______

Konflik Papua adalah konflik kemanusiaan yang berkepanjangan di Indonesia, dan tidak pernah menemui titik akhir jalan penyelesaian yang baik.

Konflik yang lahir melalui berbagai dialektika kepentingan para pihak dalam memperebutkan berbagai sumber daya sosial, sehingga menciptakan berbagai jenis, tipe, pihak, dinamika, dan inisiatif intervensi konflik yang sangat kompleks, sehingga sulit untuk di tata kelola secara baik sebagai tujuan penyelesaian menyeluruh untuk kebaikan kehidupan masyarakat Papua di Indonesia.

Berbagai dialektika kepentingan para pihak yang muncul sebagai motif angka dasar kepentingan mereka, dan masing-masing bersumber kepada beberapa sumber konflik seperti kepentingan komunal maupun kepentingan kekuasaan politik negara, yang sebagaimana dipandang sebagai instrumen konflik vertikal maupun horizontal, dan menjadi sumbu api yang melahirkan berbagai akibat-akibat konflik yang terjadi di Papua saat ini.

Kepentingan komunal masyarakat Papua yang dimaksud ialah kepentingan etnis, bahasa, budaya, agama, dan geografis. Yang menjadi instrumen utama dalam menyatukan serta membentuk kesadaran komunitas, rasa persatuan, dan rasa kepemilikan yang kuat sebagai suatu modal komunitas sosial (identitas sosial) masyarakat Papua sendiri, dan harus mereka pertahankan.

Kemudian kepentingan kekuasaan dapat dilihat sebagai upaya dominasi sosial, ekonomi dan politik (dominasi struktural) oleh suatu kelompok tertentu, baik negara maupun masyarakat luar, atas kepentingan komunal masyarakat Papua, yang sebagaimana sudah termanivestasi sebagai suatu modal dasar identitas sosial masyarakat komunal Papua yang telah terawat dan terjaga sebagai sumber daya sosial yang diwariskan oleh leluhur masyarakat Papua turun-temurun.

Kepentingan kekuasaan juga bisa lahir melalui adanya intervensi kepentingan kekuasaan dari pihak luar maupun bisa juga lahir dari persaingan internal masyarakat komunal itu sendiri. Misalnya dominasi kekuasaan etnis primordial tertentu yang sebagaimana juga merupakan bagian dari entitas komunitas masyarakat komunal Papua sendiri dalam menguasai berbagai sumber daya kekuasaan yang ada di Papua. Intervensi dominasi kepentingan kekuasaan eksternal dan praktik dominasi kepentingan kekuasaan internal inilah yang menciptakan berbagai jenis dan tipe konflik yang kompeks di Papua.

Berdasarkan berbagai dialektika konteks konflik Papua tersebut diatas maka, penulis coba menggunakan pendekatan analis konflik multidisipliner oleh Johan Galtung untuk melihat dan mengungkapkan fakta konflik Papua yang sebagaimana saat ini semakin menekan dan mengkhawatirkan bagi seluruh pihak di Papua, yaitu menganalisis berbagai kemungkinan sumber konflik, jenis dan tipe konflik, sikap dan perilaku para pihak berkoflik, serta usulan ideal tingkat penyelesaian konflik Papua secara komprehensif.

Terutama terkait, pertama, konflik politik sejarah masa lalu Papua dan pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh negara. Kedua, praktik instrumental penyelesaian konflik seperti kebijakan pembangunan berkelanjutan, Implementasi Otsus Papua dan Isu Pemekaran DOB Provinsi di Papua. Ketiga, adanya inisiatif intervensi pihak ketiga (baca: pihak luar) untuk membantu menyelesaikan konflik Papua. Keempat, adanya inisiatif dialog damai oleh pemerintah Indonesia bersama kelompok kiri pejuang Papua merdeka (OPM) yang ingin memisahkan Papua dari Indonesia. Kelima, jalan penyelesaian konflik Papua yang ideal. Fakta konflik inilah yang menjadi titik fokus pembahasan penulis.

Pendekatan teori analisis konflik multidisipliner Johan Galtung, yang penulis gunakan untuk melihat fakta konflik Papua ialah pendekatan Segitiga Konflik Galtung, dimana segitiga konflik ini merupakan analisis hubungan sebab akibat atau interaksi yang memungkinkan terciptanya konflik sosial. Ada tiga dimensi dalam segitiga konflik Galtung, yaitu, sikap, perilaku, dan kontadiksi (situasi) para pihak berkonflik dalam memperebutkan sumber-sumber konflik yang dipertentangkan.

Yang menurut Galtung, Sikap adalah persepsi anggota etnis tentang isu-isu tertentu yang berkaitan dengan kelompok lain. Perilaku dapat berupa kerja sama, persaingan atau paksaan, suatu gerak tangan dan tubuh yang menunjukan persahabatan atau permusuhan. Kontradiksi adalah kemunculan situasi yang melibatkan problem sikap dan perilaku sebagai suatu proses, artinya kontradiksi diciptakan oleh unsur persepsi dan gerak etnis-etnis yang hidup dalam lingkungan sosial. Secara sederhana, sikap melahirkan perilaku, dan pada gilirannya melahirkan kontradiksi atau situasi. Sebaliknya, situasi bisa melahirkan sikap dan perilaku (Rombostham, Wood, dan Miall, 2003: 10); dikutip, Novri Susan, MA, 2010, Pengantar Sosiologi Konflik.

Perspektif multidisipliner Galtung ini di rangkaikan menjadi satu perspektif dari berbagai terminologi ilmu sosial yang lahir dari tiga mashab besar ilmu sosial yaitu positivisme (Aguste Conte, Emile Durkheim), humanisme (Wilhelm Dilthey, Max Weber), dan kritisisme (H.Marcuse, Adorno, Horkeimer, Habermas, Giddens, Mills), dalam melihat konteks konflik sosial yang terjadi.

Dimana perspektif positivisme melihat konflik sosial sebagai bagian daripada konflik perebutan kekuasaan atas sumber daya sosial semata, mengedepankan fakta objektif sosial, konflik alamiah dan fungsi positif konflik, yang harus di kelola secara realistis, rasional, dan ilmiah untuk kepentingan perubahan dan kemajuan pembangunan manusia ke arah yang lebih baik (pemahaman modernisme).

Kemudian perspektif humanisme melihat konflik sosial bukan hanya sebagai konflik kekuasaan, fakta sosial, konflik alamiah dan fungsi positif konflik semata, tetapi lebih menekankan kepada kepentingan nilai-nilai dan ide-ide dasar suatu komunitas sosial maupun individu yang diekspresikan sebagai jati diri yang harus di utamakan dalam tata kelola konflik dan penentuan kebijakan pembangunan yang lebih baik. Nilai-nilai dan ide-ide dasar ini meliputi, kepentingan etnisitas, bahasa, budaya, agama, dan geografis.

Sedangkan perspektif kritisisme lebih menekankan kepada makna positif tindakan yang dilahirkan dari kedua mashab positivisme (modernisme) dan humanisme (kemanusiaan). Yaitu bagaimana perilaku dari kedua mashab tersebut harus koheren dengan tata sosial konflik yang bersifat ideal dan manusiawi, berdasarkan prinsip-prinsip kemanusiaan dan tata kelola kelola konflik yang lebih baik.

Berbagai perbedaan dan pertentangan mashab inilah, Galtung mencoba menyatukannya dalam satu perspektif analisis konflik yang bersifat komprehensif dan menyeluruh, yaitu analisis konflik multidisipliner. Sehingga fakta sosial konflik dapat dilihat secara baik guna dicapai suatu tujuan paraktis yang menjadi solusi positif untuk menyelesaikan konflik sosial secara menyeluruh.

Untuk itu, terkait persoalan konflik Papua, penulis melihat bahwa berbagai dinamika konfliknya perlu untuk di kaji secara mendetail dan objektif berdasarkan terminologi sosial konflik yang tepat, guna menemukan sebuah pemahaman dan solusi yang baik untuk mencapai langkah penyelesaiaan yang tepat. Solusi yang penulis maksudkan ialah, pendekatan penyelesaian yang benar-benar murni dan bebas dari kepentingan politik suatu kelompok tertentu. Sebuah langkah penyelesaian yang terlihat netral, berdasarkan fakta objektif, rasional, dapat di ukur, serta berlandaskan nilai-nilai dan prinsip-prinsip keilmuan, agama, dan kemanusiaan yang hakiki.

Megingat berbagai langkah pendekatan penyelesaian konflik Papua sudah beberapa kali di teliti dan di ajukan oleh beberapa pihak yang berkompeten, diantaranya seperti, pihak lembaga gereja, lembaga swadaya masyarakat (LSM), lembaga perguruan tinggi (akademisi), pemerhati, Komnas HAM, dan juga lembaga ilmu pengetahuan Indonesia (LIPI).

Misalnya LIPI pernah dalam Journal Papua Road Mapnya, telah memetakan fakta konflik Papua dan menemukan beberapa sumber (akar) konflik Papua, yang diantara seperti, kegagalan pembangunan oleh pemerintah, pelanggaran HAM berat di masa orde baru, transmigrasi dan diskriminasi sosial, serta status sejarah politik Papua di masa lalu. Bahkan LIPI juga telah mengajukan sebuah resolusi konflik Papua dalam skema konsep Dialog Damai Jakarta-Papua, yang menurut hemat LIPI, adalah langkah strategis untuk menyelesaikan akar persoalan konflik Papua yang sudah di temukan. Tetapi usulan tersebut tetap saja masih di abaikan oleh berbagai pihak, terutama pemerintah pusat yang terkesan selalu menghindar karena alasan politik tertentu.

Untuk itu, dengan melihat berbagai dinamika konflik Papua saat ini, terutama pasca Implementasi Otsus Papua selama 20 tahun pertama yang berakhir pada tahun 2021 kemarin, dan telah di rubah undang-undangnya menjadi UU No 2 tahun 2021 tentang Otsus Papua, maka kompleksitas persoalan Papua bukannya semakin berkurang dan terselesaikan, tetapi malah menciptakan ekskalasi konflik yang semakin meningkat dan kian kompleks di Papua.

Dengan melihat kompleksitas persoalan konflik Papua yang dikemukakan maka, penulis coba menganalisisnya melalui dimensi sikap, perilaku dan kontradiksi (situasi) konflik masyarakat Papua pasca resolusi Otsus Papua 20 tahun pertama, dan juga sikap, perilaku, dan kontradiksi (situasi) konflik pemerintah pusat dalam menanggapi sikap dan perilaku masyarakat Papua tersebut, yang akhirnya menciptakan konstalasi, pertentangan, kontradiksi, dan eskalasi konflik Papua yang semakin memanas saat ini. Serta langkah-langkah penyelesaian konflik Papua yang ideal.

1. Sikap, perilaku, dan kontradiksi (situasi) konflik Papua dalam perspektif masyarakat Papua pasca resolusi Otsus Papua 20 tahun pertama.

1) Sikap Konflik Masyarakat Papua

Sikap konflik masyarakat Papua terkait resolusi undang-undang Otsus Papua yang dirubah tahun 2021, dipandang oleh beberapa pihak dalam masyarakat Papua sebagai suatu kebijakan yang sentralistik, top down, dan lahir karena paksaan dan kendali penuh Pemerintah Pusat, karena dinilai tidak objektif dalam melibatkan masyarakat Papua secara demokratis untuk memberikan penilaian dan persetujuan guna pemantapan penyusunan undang-undang perubahan Otsus Papua sesuai kebutuhan utama masyarakat Papua sendiri.

Padahal, jika dilihat melalui hasil evaluasi implementasi Otsus Papua selama 20 tahun pertama, tentu banyak persoalan yang belum terselesaikan secara baik. Terutama terkait implementasi undang-undang Otsus Papua, misalnya, pertama, kewenangan penuh yang diamanatkan oleh undang-undang Otsus Papua tidak diperkenankan secara luas oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Papua untuk menyelenggarakan kebijakan implementasi Otsus Papua  secara baik sesuai sesuai prakarsa sendiri.

Kedua, tidak adanya keseriusan dari pemerintah Pusat untuk mendukung penuh tata kelola dan penyelenggaraan lembaga Otsus Papua seperti MRP, DPR Otsus dan Pemerintahan Otsus Papua secara baik. Ketiga, kebijakan investasi SDA di Papua masih berada dalam kendali penuh Pemerintah Pusat, sehingga kebijakan investasi yang diarahkan ke Papua pun terlihat sebagai instrumen kepentingan ekonomi pemerintah pusat semata, serta sumber kerusakan ekologi dan eksploitasi ekonomi yang mendatangkan kerugian besar bagi  masyarakat adat Papua.

Keempat, kebijakan undang-undang dan pembangunan di Papua bersifat kompleks antara undang-undang pusat dan daerah sehingga implementasi undang-undang Otsus Papua menemui titik buntu (krisis keleluasaan). Kelima, Otsus Papua penuh dengan uang (anggaran) yang banyak tetapi tidak pernah disingkronkan dengan produk aturan, undang-undang, atau kebijakan dan program pembangunan yang terarah dan relevan (berbobot). Akibat dari hal itu menciptakan rendahnya tingkat kesehatan, pendidikan, kesejahteraan ekonomi, dan hak politik masyarakat Papua yang seyogyanya menjadi tujuan utama implementasi Otsus Papua itu sendiri.

Keenam, tidak adanya keseriusan pemerintah Pusat untuk selesaikan persolaan pelanggaran HAM berat di Papua secara baik dan bermartabat. Pemerintah Pusat terkesan masih memelihara konflik di Papua secara berkepanjangan. Ketujuh, tidak adanya upaya yang konsisten dari Pemerintah Pusat dalam hal penegakan tindak pidana kasus korupsi di Papua secara tegas, baik dan tuntas. Kedelapan, kebijakan keamanan melalui pendropan angkatan militer bersenjata (TNI/POLRI) ke Papua dalam rangka operasi militer di Papua masih terus di kerahkan sepanjang tahun dan tidak pernah dihentikan. Sehingga hal ini mengakibatkan kasus pelanggaran HAM semakin meningkat tajam sepanjang tahun di Papua.

Kesembilan, tertutupnya ruang demokrasi dan hak asasi penyampaian pendapat di muka umum. Masyarakat Papua selalu di paksa diam dengan sistem hukum dan pengawalan militer yang ketat, sehingga hak-hak dasar dan berbagai ketidakadilan yang di hadapi masyarakat Papua tidak bisa tersampaikan kepada publik secara demokratis. Kesepuluh,  tindakan rasisme dan pelecehan etnis Papua antara masyarakat kulit putih terhadap masyarakat Papua kian menjadi kebiasaan yang lazim di Indonesia dan memicu akar konflik baru di Papua.

2) Perilaku dan Kontradiksi (situasi) konflik Masyarakat Papua

Melalui sikap konflik masyarakat Papua yang sebagaimana diutarakan di atas maka, dapat dilihat berbagai perilaku dan kontradiksi (situasi) konflik masyarakat Papua yang muncul diantaranya seperti, pertama, semakin marak munculnya berbagai gerakan demonstrasi dan aksi protes antara pihak pro dan kontra yang dilakukan oleh mahasiswa, para aktivis, dan masyarakat Papua di seluruh Indonesia dan dunia internasional dalam berbagai aksi untuk menolak berbagai kebijakan Pemerintah Pusat seperti Pemekaran DOB Provinsi, Investasi Ekonomi (Kelapa Sawit, Energi dan Mineral), Perubahan undang-undang Otsus Papua, tuntutan penyelesaian persoalan pelanggaran HAM di Papua, hingga tuntutan referendum dan kemerdekaan Papua.

Misalnya aksi dan aspirasi Penolakan pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) di Tanah Papua ke DPR Papua, yang disampaikan lewat  aksi Koaliasi Mahasiswa dan Rakyat Papua pada  Selasa,(8/03/2022), DPR Papua langsung mengambil langkah dengan meneruskan Aspirasi Penolakan DOB Papua kepada DPD RI melalui Ketua Komite II DPD RI, Yoris Raweyai yang tengah melakukan Kunjungan Kerja ke DPR Papua, Rabu,(9/03/2022).(dikutib:https://dpr-papua.go.id/dpr-papua-teruskan-aspirasi-penolakan-pembentukakan-dob-papua-kepada-dpd-ri/)

Kedua, adanya inisiatif Pemerintah Papua melalui MRP Papua yang mengajukan banding uji materi undang-undang perubahan Otsus Papua di Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2022 saat ini, yang dinilai proses perubahannya tidak melibatkan Pemerintah Papua dan MRP sebagai lembaga Otsus Papua, serta tidak menyertakan aspirasi dasar OAP yang sebagaimana sudah dihimpun oleh MRP melalui RDP evaluasi Otsus Papua tahun 2021.(dikutib: https://mrp.papua.go.id/2022/03/10/sidang-gugatan-uu-otsus-kuasa-hukum-mrp-hadirkan-4-saksi-dprp-tidak-hadir/)

Ketiga, meningkatkannya krisis konflik bersenjata antara militer Indonesia dan kelompok pejuang Papua Merdeka (OPM/TPN-PB) di hutan-hutan Papua. Akibat dari hal ini, dimana Gubernur Papua Lukas Enembe pernah dalam sambutannya mewakili rakyat Papua dalam acara syukuran HUT Pekabaran Injil di tanah Papua di Halaman Kantor DPRP Papua pada tanggal 5 Februari 2021, mengatakan bahwa OAP hidup tidak bahagia di Papua, karena OAP merasa hidup sudah tidak aman lagi di Papua. Dengan melihat konflik bersenjata masih terus terjadi di beberapa daerah di Papua, seperti, Intan Jaya, Puncak Jaya, Nduga, Puncak, dan Maybrat. Akibat konflik ini OAP mengungsi ke hutan-hutan, banyak korban nyawa berjatuhan, dan tidak ada keamanan lagi bagi OAP di Papua.

Keempat, hadirnya elit-elit politik lokal Papua, yang mencoba memanfaatkan situasi konstalasi konflik Papua untuk melancarkan negosiasi politik bersama elit politik Jakarta untuk meminta jabatan, uang, dan pemekaran, sebagai instrumen untuk meredam konflik Papua yang terjadi. Elit politik Papua dan elit politik Jakarta terkesan bermain di "air keruh" konflik Papua yang semakin mencekam. Mengadu domba Rakyat Papua atas motif kepentingan elit dalam situasi konflik Papua yang mencekam.(dikutib:https://republiknews.co.id/usulan-pemekaran-tiga-provinsi-baru-di-papua-dibahas-dpr-ri/)

2. Sikap, perilaku, dan kontradiksi (situasi) konflik Papua dalam perspektif Pemerintah Pusat pasca resolusi Otsus Papua 20 tahun pertama.

1) Sikap konflik Pemerintah Pusat

Dengan melihat sikap dan perilaku politik masyarakat Papua terkait kebijakan pembangunan yang diarahkan oleh pemerintah pusat ke Papua dan fakta konflik di Papua, maka penulis melihat sikap konflik Papua dalam perspektif pemerintah pusat yang diantaranya ialah:

Pertama, pemerintah pusat masih mencurigai masyarakat Papua sebagai kelompok yang bertentangan dengan kehendak dan kebijakan politik negara di Papua, sehingga tidak ada kompromi untuk membuka ruang demokrasi bagi masyarakat Papua dalam hal pastisipasi dan penentuan kebijakan pembangunan di Papua. Kedua, pemerintah pusat mencoba menciptakan beberapa instrumen politik sebagai kebijakan pendekatan resolusi konflik Papua sesuai prakarsa sendiri pemerintah pusat tanpa melihat kondisi objektif konflik Papua secara realistis, rasional, positif dan manusiawi.

Ketiga, pemerintah pusat terkesan masih lebih mengutamakan pendekatan keamanan dan tekanan militeristik untuk meredam konflik Papua tanpa adanya inisiatif yang baik untuk untuk melihat akar masalah konflik Papua serta mengambil langkah penyelesaian secara baik dan demokratis. Padahal pendekatan keamanan dalam perspektif tata kelola konflik adalah cara yang sangat tidak demokratis dan humanis, karena lebih mengutamakan tekanan militer untuk menciptakan dan menjaga perdamaian.

Keempat, terminologi humanisme "pendekatan humanis" yang sering diungkapkan oleh pemerintah pusat sebagai cara ideal untuk mengubah kebijakan pendekatan pembangunan di Papua, baik keamanan maupun aspek pembangunan menyeluruh, terkesan hanyalah "slogan publisitas" semata, sebab fakta praktik di Papua, penulis melihat pemerintah pusat masih menggunakan pendekatan terminologi positivistik, kapitalis, kriminalisasi, dan sarat politis. Pendekatan terminologi kebijakan pembangunan inilah yang sering pemerintah pusat tidak luruskan secara baik. (Dikutib: Pernyataan Wapres RI Ma'ruf Amin, 15/12/2021/Harap Pendekatan Humanis Diwujudkan agar Papua Aman-Kondusif/https://www.google.com/amp/s/news.detik.com)

2) Perilaku dan kontradiksi (situasi) konflik Pemerintah Pusat

Berdasarkan sikap konflik pemerintah pusat yang sebagaimana penulis utarakan di atas maka penulis dapat melihat perilaku dan kontradiksi (situasi) konflik Papua dalam perspektif pemerintah pusat yang diantaranya sebagai berikut.

Pertama, terkait kebijakan perubahan undang-undang Otsus Papua periode pembangunan kedua, pemerintah pusat terkesan lebih sentralistik, top down, dan dominasi penuh dalam menyusun draf Otsus Papua. Pemerintah Papua, DPRP, MRP dan Masyarakat Papua terkesan tidak diberikan ruang demokratis untuk terlibat dalam memberikan pembobotan dalam penyusunan draft Otsus Papua.

Terbukti ada beberapa pasal yang dirubah oleh pemerintah pusat tanpa adanya konsultasi publik dan dengar pendapatan rakyat Papua guna pemantapan draft Otsus Papua sesuai kebutuhan OAP sendiri yang didasarkan atas hasil evaluasi implementasi Otsus Papua 20 tahun pertama. Misalnya beberapa pasal yang berkaitan dengan kebijakan keuangan, kebijakan politik, dan kebijakan pemekaran DOB di Papua hal ini dilihat diatur dan rubah secara sepihak oleh pemerintah pusat. Sehingga akibatnya MRP Papua tidak terima dan akhirnya mengajukan banding uji materi undang-undang Otsus Papua di Mahkamah Konstitusi saat ini.

Kedua, terkait kebijakan keamanan, pemerintah pusat terkesan masih menggunakan pendekatan militer untuk meredam konflik Papua. Sehingga bukannya meredam konflik tetapi malah menciptakan eskalasi konflik Papua semakin tinggi lagi. Dalam kebijakan keamanan, pemerintah pusat terkesan tidak menetapkan status konflik Papua sebagai daerah darurat militer "daerah operasi militer" secara terbuka kepada publik, tetapi dalam prakteknya, fakta yang berlangsung di Papua membuktikan masih berkumandang perang dan pertumpahan darah antara pihak TNI/POLRI dan pihak TPN PB/OPM yang juga berdampak kepada rakyat sipil di Papua. Inilah yang penulis pandang sebagai kebijakan darurat militer sistemik (kebijakan keamanan tertutup) yang telah dilakukan oleh pemerintah pusat. (Data:
https://news.detik.com/berita/d-5971019/kkb-di-papua-terus-berulah-telan-belasan-korban-jiwa-di-awal-2022)

Ketiga, terkait kebijakan penyelesaian dan perdamaian atas tindakan pelanggaran HAM berat di Papua, pemerintah pusat terkesan masih memainkan isu dialog damai sebagai wacana politik yang mempengaruhi situasi publik dan masyarakat Papua semata, tanpa adanya insiatif dan sikap konsisten dari pemerintah pusat untuk bersikap realistis dalam menyelesaikan konflik Papua secara bertanggung jawab dan bermartabat.

Mengingat isu dialog damai sepanjang tahun sudah diusulkan oleh berbagai pihak kepada pemerintah pusat sebagai resolusi ideal penyelesaian konflik Papua. Penulis menilai, entah dialog damai dalam skala nasional atau pun dialog damai dalam skala internasional, semua itu baik untuk memulihkan citra Indonesia di mata publik nasional maupun internasional, sebagai negara yang menjunjung tinggi demokrasi dan nilai-nilai kemanusiaan di dunia ini. Langkah dialog inilah yang harus di lakukan oleh pemerintah pusat sebagai kebijakan perdamaian yang ideal untuk konflik Papua.

Terkait penanganan Dialog Damai Konflik Papua, kebijakan pemerintah pusat yang saat ini  telah memberikan kepercayaan kepada Komnas HAM RI bulan Mareth tahun 2022 (saat ini) sebagai tim investigasi, negosiasi, dan mediator dialog damai konflik Papua antara Jakarta dan Papua (dikutib: https://www.google.com/amp/s/www.cnnindonesia.com/nasional/20220309195028-12-769058/komnas-ham-jokowi-setuju-dialog-damai-dengan-opm/amp), penulis melihat langkah tersebut tidak ideal. Mengingat Komnas HAM RI adalah sebuah lembaga peradilan non yudisial yang masih berada di bawah naungan pemerintah pusat.

Sehingga penulis melihat langkah Komnas HAM ini juga tidak berdasar hukum dan belum ideal, karena Komnas HAM juga adalah bagian dari perpanjangan tangan negara, yang bersifat independen, tetapi dalam tindakannya, harus mendapatkan persetujuan dan perlindungan hukum oleh negara. Artinya bahwa jika pemerintah pusat memberikan amanat kepada Komnas HAM maka pemerintah pusat harus menetapkan amanat tersebut dalam bentuk Perpu atau peraturan pemerintah yang akhirnya dapat menjadi dasar hukum dan acuan bersama baik bagi Komnas HAM, pemerintah pusat, maupun pihak masyarakat Papua yang berkonflik sendiri. Sehingga arah langkah dari Komnas HAM dapat dipahami oleh semua pihak secara baik, guna menghindari muatan politik terselubung (indepedensi terjaga) untuk menghindari intervensi politik tertentu yang mungkin dapat mengacaukan agenda Komnas HAM yang di usung.

Untuk itu, dengan melihat insiatif pemerintah pusat melalui Komnas HAM maka, saran penulis, lebih idealnya, pemerintah pusat harus tetap bersikap terbuka, yaitu selain memberikan mandat kepada Komnas HAM, pemerintah pusat juga harus terbuka untuk memberikan ruang kepada Tim Pemantau Komisi Tinggi HAM PBB untuk turun bersama-sama meninjau persoalan konflik Papua. Sehingga hasil dari investigasi tersebut dapat ditemukan fakta otentik dan solusi penyelesaian yang ideal bagi Konflik Papua. Komnas HAM dan Komisi Tinggi HAM PBB bisa saling proaktif dan dapat mengkorelasikan data bersama-sama dan selanjutnya dapat memutuskan langkah penyelesaian konflik Papua yang ideal itu seperti bagaimana untuk selanjutnya hasilnya disampaikan kepada pemerintah pusat maupun pihak internasional.

Keempat, kebijakan pemekaran DOB Provinsi Papua dan Papua Barat menjadi beberapa provinsi baru, penulis melihat pemerintah pusat terkesan memaksakan kehendak politik secara sepihak, pertimbangan strategis intelijen, dan tidak objektif; (Baca: https://polkam.go.id/daerah-otonomi-baru-papua-untuk-kokohkan-nkri/) : Aspirasi pembentukan Daerah Otonomi Baru Papua dapat dilakukan salah satunya dengan mempertimbangkan kepentingan strategis nasional dalam rangka mengokohkan NKRI. Hal ini disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, dalam acara Coffee Morning, di Kantor Kemenko Polhukam, Selasa(30/11).

Pemerintah pusat semestinya harus mempertimbangkan berbagai kemungkinan buruk dampak DOB bagi masyarakat Papua sendiri. Sebab sampai saat ini belum ada dasar ilmiah atau kajian ilmiah yang menunjukan pemekaran kabupaten kota dan provinsi baru harus dimekarkan di Tanah Papua. Sesuatu yang dilakukan tanpa kajian ilmiah menunjukan bahwa para elit Papua yang memperjuangkan pemekaran sedang mengajak masyarakat Papua untuk masuk dalam lorong kegelapan. Masyarakat di buat tidak tahu bagaimana dampaknya, ungkap Dr. Agus Sumule, Akademisi Unipa Manokwari, 3 Februari 2022/ https://suarapapua.com/2022/02/03/akademisi-unipa-pemekaran-prov. Untuk itu lebih baik pemerintah pusat lebih  fokus kepada penyelesaian akar masalah utama konflik Papua  terlebih dahulu, sehingga berbagai kebijakan dapat di atur secara bertahap, terarah, dan objektif secara berkelanjutan.

Artinya yang seharusnya menjadi agenda prioritas pemerintah pusat saat ini ialah penyelesaian kontradiksi gugatan dan uji materiil draft undang-undang Otsus Papua yang hari ini masih di gugat oleh MRP Papua di Mahkamah Konstitusi (MK), kemudian agenda prioritas yang berikut ialah penyelesaian pelanggaran HAM Papua dan dialog damai konflik Papua. Bukan pemerintah pusat harus mamaksakan kehendak politik untuk mendorong semua aganda kebijakan pembangunan harus berjalan bersamaan. Kebijakan ini akan tumpang tindih dan semakin mempersulit semua inisiatif penyelesaian konflik Papua secara menyeluruh. (Dikutib: https://nasional.sindonews.com/read/629247/15/mendagri-sebut-tahun-2022-ruu-pemekaran-papua-mulai-dibahas-1639566769)

Elit-elit politik Papua (elit lokal) yang hari ini memanfaatkan situasi konflik Papua untuk membangun komunikasi politik dengan pemerintah pusat guna mempercepat kebijakan DOB Provinsi di Papua hanyalah kelompok kepentingan yang memburu kekuasaan dan tidak pernah serius dan bertanggung jawab untuk membangun rakyat Papua secara baik.

Dan jika ada elit pemerintah pusat terbukti se arah dengan usulan elit politik Papua, maka penulis melihat bahwa elit politik nasional (Jakarta) juga sedang bermain bersama elit politik Papua untuk mengadu domba rakyat Papua guna memperpanjang konflik di Papua. Jika hal ini terjadi maka, penulis menilai, langkah tersebut hanyalah sebagai "pelarian politik" elit politik nasional karena tidak mampu menyelesaikan konflik Papua secara objektif dan bertanggung jawab. Elit politik nasional dan elit politik lokal terkesan lebih memilih bermain di "air keruh" konflik Papua daripada menunjukan integritas politik sebagai negarawan yang sejati yang bertanggung jawab menyelesaikan konflik Papua.

3. Dinamika dan intervensi (solusi) konflik penyelesaian konflik Papua.

Fakta konflik Papua pada prinsipnya sebagaimana dapat kita lihat melalui konteks konflik Papua itu sendiri, dimana berdasarkan pendekatan analisis konflik multidisipliner Galtung yang penulis gunakan, maka konteks konflik Papua dapat di lihat melalui, sumber konflik, jenis konflik, tipe konflik, pihak berkonflik, dinamika dan intervensi konflik.

Sumber Konflik Papua itu sendiri ialah konflik komunal dan konflik kekuasaan. Yang sebagaimana telah menjadi sebab utama yang mengakibatkan lahirnya berbagai rentetan konflik dan semakin kompleks. Konflik komunal yang penulis maksudkan ialah, kepentingan etnisitas, bahasa, budaya, agama, dan geografis, yang menjadi modal dasar identitas sosial masyarakat Papua, yang di intervensi oleh kekuasaan negara dengan pendekatan dominasi struktural, pengendalian hukum yang tidak berpihak, serta kebijakan eksploitatif dan pembangunan yang menindas dan merugikan masyarakat Papua.

Kemudian konflik kekuasaan ialah kepentingan kekuasaan negara atas sumber daya komunal masyarakat Papua, yang dilihat oleh masyarakat Papua bahwa semestinya kekuasaan negara itu harus adil dalam memanfaatkan sumber daya komunal masyarakat Papua untuk sebesar-besarnya di gunakan sebaik mungkin untuk mensejahterakan masyarakat Papua.

Terutama sumber daya geografis yang meliputi pengelolaan sumber daya alam, pajak wilayah, dan aktivitas ekonomi di Papua. Selain itu juga termasuk produk aturan hukum yang berpihak kepada perlindungan, pemberdayaan, dan penghormatan negara terhadap hak-hak dasar kepentingan komunal masyarakat Papua secara baik dan bermartabat. Kegagalan pembangunan dan kebijakan sentralistik kekuasaan negara yang selalu diarahkan dengan motif penakhlukan dan penguasaan sumber daya alam Papua adalah bagian terpenting juga yang menimbulkan konflik Papua.

Hubungan antara kedua perspektif kepentingan konflik inilah yang telah melahirkan berbagai sikap, perilaku, dan kontradiksi (situasi) konflik di Papua saat ini. Yang mana telah menjadi sebab utama yang mengakibatkan lahirnya berbagi rentetan dan dinamika konflik yang kian kompleks dan berkepanjangan di Papua saat ini.

Kontradiksi antara konflik kepentingan komunal dan kepentingan kekuasaan negara telah menciptakan berbagai sumber konflik di Papua seperti, adanya sikap masyarakat Papua untuk meninjau kembali sejarah status politik Papua di masa lalu; tuntutan masyarakat Papua terkait penyelesaian tindakan pelanggaran HAM berat di Papua; penolakan masyarakat Papua terhadap kebijakan imigrasi dan transmigrasi masyarakat luar ke Papua; penolakan masyarakat Papua terhadap kebijakan investasi sumber daya alam di Papua; penolakan masyarakat Papua terhadap kebijakan Otsus dan pemekaran DOB Provinsi di Papua; penolakan masyarakat Papua terhadap tindakan rasisme yang ditujukan oleh masyarakat Indonesia kepada masyarakat Papua; serta di lain pihak adanya tindakan negara untuk terus menekan ruang demokrasi, menjalankan kebijakan operasi militer, serta senantiasa mamaksakan kebijakan pembangunan secara sentralistik tanpa adanya duduk bersama dengan masyarakat Papua untuk mengatur pembagunan di Papua secara baik. Semua hal inilah yang menjadi titik soal fakta konflik Papua saat ini.

Akar konflik Papua telah di petakan oleh LIPI, yaitu, pertama, kegagalan pembangunan oleh pemerintah di masa lalu (orde baru). Kedua, pelanggaran HAM berat di masa lalu (orde baru). Ketiga, kebijakan transmigrasi dan diskriminasi sosial-ekonomi. Keempat, sejarah status politik Papua di masa lalu (pra dan pasca integrasi ke Indonesia).

Dan penulis juga menambahkan beberapa rentetan konflik berkelanjutan di Papua ialah, kelima, kegagalan pembangunan oleh pemerintah di masa reformasi dan 20 tahun Otsus Papua. Keenam, pelanggaran HAM berat di masa reformasi dan 20 tahun Otsus  Papua. Ketujuh, urbanisasi dan diskriminasi sosial-ekonomi di masa reformasi dan 20 tahun Otsus Papua. Kedelapan, rasisme dan diskriminasi sosial di masa reformasi dan 20 tahun Otsus Papua. Delapan fakta konflik Papua yang penulis analisis dan temukan, serta penulis dapat ajukan kepada para pihak terkait untuk tujuan kepentingan pemetaan konflik Papua dan tindakan penyelesaian menyeluruh.

Berdasarkan hasil analisis yang sudah penulis uraikan di atas, maka usulan intervensi (solusi) penyelesaian konflik Papua menurut hemat penulis ialah:

1. Pemerintah pusat harus lebih objektif dan realistis dalam melihat dan menetapkan kebijakan pembangunan di Papua.

2. Pemerintah pusat harus bersikap proaktif untuk melihat hal-hal substansial yang menjadi usulan gugatan uji materiil draft undang-undang Otsus Papua yang saat sedang di gugat oleh MRP Papua di Mahkamah Konstitusi (MK). Mungkin ada keterbukaan untuk kembali mengevaluasi ulang draft undang-undang Otsus Papua yang sedang di persoalkan oleh MRP Papua saat ini.

3. Pemerintah pusat harus segera menghentikan segala niat dan inisiatif kebijakan pemekaran DOB Provinsi di Papua. Sebab hal tersebut terkesan hanyalah insiatif kebijakan yang bersifat politis dan akan mengadu domba masyarakat Papua di Papua. Penulis melihat kebijakan pemekaran DOB ini hanyalah permainan elit politik Papua (elit lokal) bersama elit nasional untuk memperkeruh situasi konflik Papua saat ini. Kebijakan ini akan melahirkan konflik horizontal antar masyarakat Papua maupun perang kepentingan antar elit politik Papua yang cenderung akan menghegemoni masyarakat Papua untuk menjadi tumbal (korban) politik kepentingan elit lokal semata.

4. Jika pemerintah pusat saat ini sudah ambil inisiatif penyelesaian konflik Papua melalui jalan dialog damai yang di usung oleh Komnas HAM RI, maka penulis usulkan, pemerintah pusat segera menghentikan program operasi militer yang saat ini masih di jalankan di Papua, serta menarik kembali seluruh pasukan militer TNI/POLRI yang saat ini bergerilya dalam konflik bersenjata di Papua. Dan pemerintah pusat segera membuka ruang demokrasi dan humanis untuk menyelesaikan konflik Papua melalui dialog damai. Sebab pendekatan perdamaian tidak bisa di tekan oleh pendekatan militeristik, itu kekerasan. Lebih baik pemerintah pusat menggunakan pendekatan demokrasi dan humanis sebagai solusi ideal pendekatan perdamaian konflik Papua.

5. Terkait status dan kewenangan Komnas HAM yang dipercayakan oleh pemerintah pusat untuk bertindak sebagai tim investigasi, negosiasi, dan mediator dialog damai konflik Papua, penulis melihat bahwa belum ada acuan hukum yang jelas dalam menegaskan langkah Komnas HAM. Untuk itu pemerintah pusat perlu mengeluarkan Perpu atau peraturan pemerintah yang jelas terkait tugas, fungsi dan wewenang Komnas HAM dalam melaksanakan amanat dialog damai konflik Papua Sehingga hal tersebut dapat menjadi acuan mendasar dan langkah yang jelas untuk dipahami bersama baik bagi Komnas HAM, pemerintah pusat, maupun pihak masyarakat Papua yang berkonflik sendiri. Jika tidak, maka inisiatif penunjukan Komnas HAM ini masih bersifat politis dan tidak mendasar.

6. Pemerintah pusat juga harus bersikap terbuka untuk membuka ruang dan kebebasan bagi akses kunjungan Komisi Tinggi HAM PBB maupun wartawan asing untuk masuk ke Papua meninjau kondisi objektif konflik Papua. Mengingat sikap ini sebagai bentuk pertanggungjawaban perintah pusat dalam menegaskan posisi Indonesia di mata dunia internasional sebagai negara yang konsisten dalam menegakkan demokrasi dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan di dunia ini. Dimana peran Komisi Tinggi HAM PBB ini akan berkolaborasi bersama peran Komnas HAM untuk melakukan tinjauan bersama melalui investigasi, negosiasi, dan mediasi untuk mendata fakta konflik Papua dan selanjutnya menentukan langkah penyelesaian konflik Papua yang ideal seperti apa dan bagaimana.

7. Solusi perdamaian konflik Papua, menurut hemat penulis, pendekatan yang ideal ialah Dialog Damai yang di mediasi oleh pihak ketiga, yaitu pihak netral. Pemerintah pusat harus mengundang pihak luar yang netral untuk melakukan intervensi konflik dan tata kelola konflik Papua secara demokratis dan humanis, sehingga dapat melahirkan solusi perdamaian yang dapat diterima oleh semua pihak yang berkonflik.

Sebab menurut penulis, peran Komnas HAM yang di tunjuk oleh negara sebagai mediator dialog damai, tidak ideal dalam konteks konflik Papua. Sebab posisi Komnas HAM adalah bagian dari perpanjangan tangan pemerintah pusat yang melakukan tugas independen non yudisial, yang mana akan memberikan laporan dan pertanggungjawaban kepada negara sendiri. Oleh karena itu harus ada pihak luar yang netral untuk mengintervensi konflik dan perdamaian konflik Papua. Peran Komnas HAM hanya bisa melakukan tugas investigasi, negosiasi dan mediasi untuk tujuan penguatan data pembanding bagi kepentingan pemerintah pusat untuk tujuan dialog damai yang dilaksanakan oleh pihak ketiga (pihak netral).

Demikian hasil analisis konflik Papua yang penulis kemukakan kepada semua pihak yang terlibat dalam konflik Papua. Bagi masyarakat Papua, ingat konflik Papua, awas elit politik nasional (elit Jakarta) dan elit politik Papua (elit lokal) mengadu domba masyarakat Papua atas dasar nilai kepentingan elit politik semata. Akhirnya masyarakat Papua yang menjadi korban sia-sia, tanpa adanya pencapaian pembangunan yang terarah, objektif, rasional, dan manusiawi di Papua.

Apakah Papua itu ladang konflik, apakah Papua itu ladang investasi, apakah Papua itu ladang korupsi, apakah Papua itu ladang kekuasaan/jabatan semata ??? Semua itu kembali kepada sikap masyarakat Papua dan pemerintah pusat sendiri. Semoga semua pihak mempunyai inisiatif baik untuk menyelesaikan konflik Papua secara baik, bertanggung jawab, dan bermartabat.

Port Numbay, 14 Maret 2022
19.15 wip

Penulis adalah Koordinator Pusat Studi Transformasi Papua (Pusatpapua), Jayapura-Papua. ***

Editor: Eveerth Joumilena


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x