Presiden Jokowi Diminta Segera Lakukan Perundingan Dengan NFRPB Soal Eksploitasi SDA

10 Maret 2022, 14:50 WIB
Ketua Dewan Nasional Papua (DNP) NFRPB, Onesimus Banundi (tengah). Richard (PP) /

PORTAL PAPUA - Presiden Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB), Forkorus Yaboisembut, S.Pd, meminta kepala Presiden Republik Indonesia, Ir.Joko Widodo (Jokowi), untuk segera melakukan perundingan soal eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) yang selama ini dilakukan oleh negara Indonesia, diwilayah hukum teritorial, dari wilayah West Papua, mulai dari Domberay, Bomberay, Meepago, Saerari, Mamta, Lapago, hingga Animha.

"Sesuai Konvensi Wina 1978, maka antara NFRPB dan pihak Pemerintah Indonesia perlu membicarakan tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak," ujar Forkorus Yaboisembut, S.Pd, dalam Press Releasenya, yang dibacakan oleh Ketua Dewan Nasional Papua (DNP) NFRPB, Onesimus Banundi, Kamis 10 Maret 2022, di Jayapura, Papua.

Baca Juga: Ini Tujuan Ketua Komisi II DPR RI, Saat Kunjungan ke Papua

Lanjutnya, Negara Federal Republik Papua Barat telah memenuhi syarat-syarat hukum umum Internasional.

"Persyaratan hukum umum internasional untuk terbentuknya suatu negara baru ada 4, yakni, pertama, ada rakyat sebagai suatu bangsa yang permanen. Kedua, ada wilayah hukum yang sah. Ketiga, ada suatu pemerintahan yang sah. Dan yang keempat, kemampuan untuk menjalin hubungan dengan negara lain. Sebagaimana ditetapkan dalam Konvensi Montevideo 1933, tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara secara hukum, pasal 1 ayat 1," sebut
Onesimus Banundi.

Ia pun menegaskan, dalam konteks hukum kolonial Belanda, NFRPB telah memenuhi persyaratan itu, yaitu pertama rakyat NFRPB adalah bangsa Papua sesuai Manifesto politik kemerdekaan 19 Oktober 1961 di Kota Hollandia (sekarang Kota Jayapura). Kedua, wilayah kedaulatan hukum NFRPB adalah mantan wilayah Kolonial Nederlands New Guinea (Papua Belanda). Ketiga, terbentuknya Pemerintah Negara Federal Republik Papua Barat secara sah 19 Oktober 2011. Keempat, kemampuan untuk menjalin hubungan dengan negara lain. Hal itu sedang NFRPB lakukan mulai dari negara Indonesia, seperti tawaran perundingan lewat proposal 2020, dan ke negara-negara Kepulauan Pasifik (FIP), serta negara-negara lain.

Baca Juga: Ahmad Tanjung: Pemerintah dan DPR RI Terus Berjuang Untuk Kemajuan Papua

"Berdasarkan hal itu, maka NFRPB mengajukan proposal perundingan, pengakuan, dan peralihan kedaulatan dari pemerintah Indonesia secara damai," sebut Ketua Dewan Nasional Papua (DNP) NFRPB itu.

Ia melanjutkan, hal-hal yang harus di negosiasikan antara pihak NFRPB sebagai negara pengganti dan pihak pemerintah Indonesia sebagai negara yang digantikan. Dimana NFRPB sebagai negara pengganti dan Republik Indonesia adalah sebagai negara yang akan digantikan. Perlu menyepakati hak dan kewajiban masing-masing pihak, seperti diatur dalam Konvensi Wina tentang suksesi negara-negara dalam menghormati perjanjian-perjanjian tahun 1978.

Hak dan kewajiban dalam berbagai bidang yang harus dipertimbangkan, seperti di bidang pertambangan dari perusahaan-perusahaan multinasional, dan perusahaan perusahaan lokal nasional Indonesia.

Baca Juga: John Tabo: Lewat Pemekaran DOB Lapangan Kerja Terbuka Bagi Generasi Papua

Selain itu perlu dibahas bagaimana memindahkan berbagai jenis pajak, royalti, kompensasi, dan hal-hal yang menjadi hak dari masyarakat Papua Barat. Yang selama ini diambil oleh pemerintah Indonesia dari pengelolaan sumber daya alam di tanah air Papua Barat.

"Oleh karena itu, harus ada informasi dan data yang disampaikan oleh pemerintah Indonesia, serta perusahaan-perusahaan dimaksud secara transparan. Sehingga kita bisa hitung Produk Domestik Bruto (PDB) dan Produk Domestik Netto (PDN) dari pengelolaan sumber daya alam dan jasa sumber daya manusia yang dari tanah air Papua Barat. Agar kita dapat mengetahui beberapa besar pendapatan kotor dan pendapatan bersih yang diterima sebagai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)," ujarnya.

Baca Juga: Soal Pemanfaatan Desentralisasi Fiskal Daerah, Ini Pendapat Bupati Mamberamo Raya, John Tabo

Ia mencontohkan, contoh kasus dari Perdagangan Karbon (Carbon Trade), berapa triliun rupiah yang masuk ke APBN dan berapa yang diterima masyarakat adat pemilik hutan dan wilayah-wilayah, seperti, Cartenz di Timika, wilayah Lorens di Merauke, wilayah Bilugay di Nabire, wilayah Poja di Mamberamo, wilayah Cycloop atau gunung Dobonsolo di Jayapura, dan wilayah Arfak di Manokwari. Dan royalti serta kompensasi dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi di tanah air Papua Barat. Itu juga harus dihitung secara terbuka atau transparan dalam perundingan oleh masing-masing pihak. Dengan demikian kita dapat menghitung secara tepat hak dan kewajiban masing-masing pihak pada saat peralihan administrasi kekuasaan pemerintahan atau kedaulatan.

Baca Juga: 8 Korban Pembunuhan KKB Saat Bekerja Tower di Puncak Bakal Dievakuasi Hari Minggu  

"Kemudian kita juga bisa menghitung apa yang harus ditanggung sebagai hak dan kewajiban terhadap masing-masing pihak. Apakah kewajiban-kewajiban harus ditanggung oleh NFRPB sebagai negara pengganti, atau ditanggung oleh pemerintah NKRI sebagai negara yang digantikan. Setelah kita mengetahui Produk Domestik Bruto (PDB) dan Produk Domestik Netto (PDN) yang masuk dari berbagai sumber daya alam dan sumber daya manusia dari tanah Papua Barat. Maka semuanya akan menjadi jelas dan adil dalam tanggungan hak dan kewajiban masing-masing pihak," pungkasnya. ***

 

Editor: Richard Mayor

Terkini

Terpopuler