Kekuatan Magis dari Asei, Catatan Sejarah Hingga Lukisan dan Ukiran Dengan Harga Ekonomis

- 1 Juni 2022, 20:25 WIB
Pahat Patung yang Cantik dan Ganteng yang diberi nama OKINA, artinya:Ohhei Kiki Nandholo.
Pahat Patung yang Cantik dan Ganteng yang diberi nama OKINA, artinya:Ohhei Kiki Nandholo. /Facebook Dero Baro Rode/

Sejak itu, kegiatan melukis kembali marak, meski bukan untuk dikomersialkan. Baru pada 1970-an, ketika seni lukis Asei dibahas di Loka Budaya Universitas Cenderawasih, Jayapura, gairah warga Asei seakan tercambuk. Temu karya dan penyuluhan yang dilakukan pemerintah juga ikut menambah semangat dan harapan.

Baca Juga: Jalan Santai Bupati Jayapura Bersama Warga Jemaat Warnai HUT Pekabaran Injil ke-94 di Pulau Asei

Apalagi setelah beberapa pelukis Asei diberi kesempatan ikut berpameran di beberapa kota. Penjualan lukisan kayu dari rumah ke rumah juga ikut mendongkrak dan memasyarakatkan seni ini. Walau begitu, Nikolas Ohee, tokoh setempat, tetap beranggapan bahwa lukisan Asei belum membumi di Tanah Air. “Untuk dalam negeri, lukisan kami kurang dikenal seperti patung Asmat. Tapi di luar negeri, banyak orang tahu,” katanya.

Memang lukisan Asei telah merambah ke luar negeri. Turis Kanada, Prancis, Belanda, Jepang, Amerika Serikat, Jerman, dan Australia juga banyak yang mengunjungi Desa Asei. Mereka sudah akrab, kendati desa ini masih terbelakang. Di sana tak ada pasar. “Tapi tak ada pasar bukan berarti tak ada uang. Puluhan juta rupiah setiap bulan datang dari hasil kerajinan kami,” kata Tinus, warga Desa Asei.

Listrik PLN juga belum menyentuh Asei. Maka puluhan televisi dan radio di daerah itu pun menggunakan aki sebagai sumber tenaganya. Barang-barang itu dibeli dari hasil penjualan lukisan kayu. Berkat seni lukis itu, pendapatan warga memang meningkat. Paling tidak, setiap keluarga berpenghasilan bersih Rp 200.000-Rp 300.000 sebulan.

Pelukis Agustinus Ongge, misalnya, sudah puluhan tahun bertahan dari hasil menjual lukisannya. “Saya yakin, lukisan khas Pulai Asei ini tetap banyak pencintanya asalkan ada promosi,” kata Agustinus, yang juga Sekretaris Desa Asei.

 

Harga lukisan itu bervariasi. Yang berukuran kecil (21 x 9 sentimeter), misalnya, dijual Rp 30.000 sebuah. Sedangkan yang berukuran besar (150 x 75 sentimeter) dinilai Rp 1.000.000 per lukisan, tergantung motifnya. Untuk lukisan besar, modal dasar yang diperlukan sekitar Rp 100.000. “Modal itu untuk menyewa orang yang mencari dan mengambil kulit kayu di hutan, dan biaya lain selama bekerja,” kata Agustinus.

Setiap keluarga rata-rata bisa membuat lima hingga 10 lukisan kecil atau satu sampai tiga lukisan besar sehari. Agustinus melukis bukan berdasarkan pesanan. Ada atau tanpa pesanan, ia tetap berkarya. “Saya yakin, ada saja pembelinya. Tapi sejak krisis moneter ini, jarang ada turis yang datang,” kata ayah tujuh anak yang berpenghasilan Rp 300.000-Rp 600.000 sebulan ini.

Halaman:

Editor: Eveerth Joumilena


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x