Kekuatan Magis dari Asei, Catatan Sejarah Hingga Lukisan dan Ukiran Dengan Harga Ekonomis

- 1 Juni 2022, 20:25 WIB
Pahat Patung yang Cantik dan Ganteng yang diberi nama OKINA, artinya:Ohhei Kiki Nandholo.
Pahat Patung yang Cantik dan Ganteng yang diberi nama OKINA, artinya:Ohhei Kiki Nandholo. /Facebook Dero Baro Rode/
PORTAL PAPUA  - Warga Pulau Asei di Sentani, Kabupaten Jayapura, Irian Jaya (sekarang Papua) ramai-ramai membuat lukisan di atas kulit kayu. Puluhan juta rupiah sebulan mengalir ke kampung itu.

Memasuki Desa Asei, Anda seolah terbawa ke alam pengembaraan. Desa yang terletak di Pulau Asei, di bibir pantai Danau Sentani -sekitar 45 kilometer di selatan Kabupaten Jayapura- tersebut memiliki topografi yang khas. Pulau itu berbukit-bukit, berbatu cadas, dan berpasir. Di puncaknya berdiri sebuah gereja tua, bernama Pilidelpia, yang dibangun pada 1950-an.

 

Dari Jayapura, Desa Asei bisa ditempuh lewat jalan darat sampai di Kampung Harapan, Sentani Daratan. Dari tempat itu, Anda bisa naik perahu motor tempel selama sekitar 15 menit, dengan tarif sewa Rp 10.000-Rp 15.000 per jam. Begitu sampai, Anda akan disambut rumah-rumah panggung berfondasi kayu menancap di air, di pinggir Danau Sentani.

Baca Juga: Pemandangan Keindahan Pulau Asei Ditengah Danau Sentani

Kekhasan lain yang Anda temui adalah tugu berbentuk salib dan lukisan di atas batu khas Sentani. Lukisan itu menggambarkan kulit buaya -lambang keperkasaan warga Pulau Asei. Seni lukis memang tumbuh subur di pulau seluas 2,5 kilometer persegi ini. Tercatat, hampir 75% dari 249 kepala keluarga di daerah ini menggantungkan hidup dari keterampilan melukis di atas “kanvas” kulit kayu.

Jadi bisa dipastikan, kuas, cat, dan kulit kayu sangat akrab dalam kehidupan mereka. Seni lukis dan ukir adalah keterampilan turunan. Kehadiran seni ukir ini ditandai dengan ditemukannya ukiran burung kasuari di atas bubungan rumah pada 1926. Seni ini berkembang jauh sebelum agama Kristen mereka anut. “Seni lukis itu ada hubungannya dengan kepercayaan dulu,” kata Ramses Ohee, Kepala Suku Besar (Ondoafi) Waena.

Misalnya, batu besar itu dipercaya punya kekuatan dan nilai magis besar, artinya tak boleh diusik, apalagi dilukis. Karena pantangan itulah, warga Asei melukis di atas kulit kayu. Kalaupun ada yang memaksakan diri melukis di atas batu, mantra harus dibacakan agar si pelukis selamat.

Kemudian, datang penginjil dari luar Irian ke Desa Asei. Mereka menyebarkan ajaran bahwa yang berhubungan dengan kepercayaan terhadap alam sekitar itu bertentangan dengan agama, jadi harus dilenyapkan. Warga pun mematuhi. Maka seni lukis dan ukir pun terpaksa dikubur dari kegiatan sehari-hari.

Keindahan Pulau Asei di tengah Danau Sentani, di Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua.
Keindahan Pulau Asei di tengah Danau Sentani, di Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. Instagram @740aerialvideography

Tapi pada 1930-an, ketika para penginjil suku asli Irian mendatangi Pulau Asei, ajaran yang melenceng itu dicoba ditegakkan. Warga diminta kembali mengekspresikan darah seninya. Melukis alam tidak sama dengan mempercayai alam. “Jadi, masyarakat sudah dapat membedakan mana kekuasaan yang datang dari alam dan mana kekuasaan yang dari Tuhan. Yang dilarang itu santet,” kata Ramses Ohee.

Halaman:

Editor: Eveerth Joumilena


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x