PLN Berpotensi Rugi Lantaran Alami Surplus Listrik 60 Persen, DPR RI: Kurangi Sistem TOP

26 Januari 2021, 11:31 WIB
Ilustrasi PLN. /Dok. Pikiran Rakyat

 

PORTAL PAPUA - Akibat ketidakakuratan perencanaan, PLN harus mengalami surplus listrik hingga 60 persen yang dapat berpotensi merugikan keuangan PLN.

Pasalnya, model perencanaan RUPTL sebelumnya menargetkan pertumbuhan kebutuhan listrik sebesar 7-8 persen, namun realisasinya hanya 5 persen.

Belum lagi ditambah dengan permintaan kebutuhan listrik yang kian menurun akibat pandemi Covid-19.

Baca Juga: Berbusana Ala Korean Style, Unggahan Gisel Anastasia Dibanjiri Komentar Pedas Netizen

Hal ini membuat PLN terus dipacu untuk menambah jumlah pembangkit dan membuka kerja sama pembelian listrik swasta dengan sistem Take Or Pay atau TOP.

“Model perencanaan sebelumnya mengasumsikan pertumbuhan kebutuhan listrik sebesar 7-8 persen, padahal realisasinya di bawah 5 persen, apalagi saat pandemi COVID-19, dengan permintaan listrik industri semakin merosot,” ungkap Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto dalam siaran pers, Selasa, di Jakarta, seperti diberitakan Antara.

Agar tidak mengalami kerugian untuk kesekian kalinya, Mulyanto meminta p PT PLN (Persero)  lebih cermat, akurat, dan berhati-hati dalam menyusun Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) periode 2021-2030.

Baca Juga: Kabar Buruk Menimpa Keluarganya, Fadli Zon: Rasanya Ikut Sakit

Selain itu, Mulyanto juga menekankan kepada pihak PLN (Persero) agar tidak mengulangi kekeliruan yang sama seperti yang terjadi pada tahun sebelumnya dalam memprakirakan pertumbuhan kebutuhan listrik nasional.

Menurut Mulyanto, pembelian listrik swasta dengan sistem take or pay (TOP) mesti dikurangi, sebab listrik PLN saat ini sudah terlampau surplus.

"Jadi, RUPTL 2021-2030 ini harus disusun secara cermat, sebagai instrumen pembangun kelistrikan kita. Dalam konteks ini, memundurkan jadwal penyelesaian proyek pembangkit 35.000 MW ini adalah suatu kemestian, agar tekanan surplus listrik ini dapat dikendurkan," tekan Mulyanto.

Baca Juga: SEDANG BERLANGSUNG Chandra Nandini Selasa 26 Januari 2021, Chandra Marah Lantaran Difitnah

Ia juga  menginginkan pemerintah membantu PLN melaksanakan renegosiasi terkait besaran persentase TOP atas pembelian listrik swasta dari IPP (independent power producer), untuk membantu meringankan beban PLN yang membayar listrik swasta yang tidak dibutuhkan.

Di samping itu juga, ia berharap untuk ke depannya pemerintah harus tetap menjaga target-target pembangkit energi baru terbarukan (EBT), yang sebesar 23 persen pada 2025.

"Kontribusi pembangkit dari BBM, yang biaya pembangkitannya sangat mahal sudah selayaknya ditekan sampai 0 persen untuk digantikan dengan sumber gas yang lebih bersih dan cukup tersedia secara domestik,” tegas Mulyanto.

Baca Juga: Sinopsis Ikatan Cinta Selasa 26 Januari 2021, Andin Pegang Bukti yang Akurat, Elsa Kian Ketakutan

Sebelumnya, PT PLN (Persero) menggandeng PT Perkebunan Nusantara III (Persero) atau PTNP III dan Perum Perhutani untuk mendapatkan pasokan biomassa sebagai bahan baku pengganti batubara untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) milik perseroan.

Kolaborasi tiga BUMN itu tertuang dalam penandatangan nota kesepahaman penyediaan biomassa untuk PLTU batubara yang dilakukan secara virtual di Jakarta, Jumat (22/1), oleh Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini, Direktur Utama PTPN III Mohammad Abdul Ghani, dan Direktur Utama Perum Perhutani Wahyu Kuncoro.

Ruang lingkup nota kesepahaman meliputi ketersediaan bahan baku biomassa dan bentuk kerja sama yang akan jadi referensi pengembangan ekosistem penyediaan biomassa dengan Perhutani dan PTPN III memiliki sumber data kawasan hutan penghasil biomassa dan PLN sebagai pemilik PLTU batubara.***

Author: Elvis Romario

 

Editor: Ade Riberu

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler