Banyak Pendukung Jadi Komisaris BUMN, Pengamat Menilai Jokowi Seperti 'Soeharto Kecil'

- 12 November 2020, 17:36 WIB
/MASSA yang tergabung dalam Poros Revolusi Mahasiswa Bandung (PRMB) melakukan aksi unjukrasa di depan Gedung Merdeka, jalan Asia Afrika, Kota Bandung, Selasa 20 Oktober 2020. Dalam aksinya mereka menyuarakan penolakan Omnibus Law Cipta Kerja dan mengkritisi satu tahun pemerintahan Jokowi-Ma'ruf. /Pikiran-rakyat.com/ARMIN ABDUL JABBAR/

 

 

Beberapa bulan terakhir publik menyoroti soal 'titipan presiden' yang sempat di singgung oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir. Pasalnya nama-nama yang dulu mendukung atau dibalik terpilihnya Presiden Joko Widodo  mendapati kursi yang cukup tinggi khususnya dalam bidan yang dibawahi BUMN.

Belum hilang dari ingatan,Kristian Budiyarto salah satu influencer di sosial media yang mendukung Joko Widodo  saat Pilpres 2019 lalu, kini ditunjuk sebagai Komisaris Independen Pelni, perusahaan pelayaran milik negara terbesar di Indonesia.

Terpilihnya Kristia Budyarto memicu perdebatan publik, mereka mempertanyakan dan memperdebatkan soal pemerintahan Jokowi, yang seakan memberi penghargaan atau 'hadiah' kepada para pendukungnya bahkan ketika mereka tak memiliki latar belakang yang relevan.

Perdebatan itu semakin kuat ketika Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir , yang merupakan mantan manajer kampanye presiden, menunjuk tiga tokoh lainnyas dan pendukung Jokowi dulunya menempati posisi puncak pada bulan Oktober 2020 lalu.

Terdapat Mantan jurnalis Ulin Ni'am Yusron,merupakan penggemar setia Jokowi selama dua pemilu terakhir, menjadi komisaris untuk Perusahaan Pengembangan Pariwisata Indonesia.

Kemudian Dyah Kartika Rini, yang membantu Jokowi  membangun jaringan relawan media sosial saat mencalonkan diri sebagai Gubernur Jakarta pada 2012 lalu, dan saat ini tengan menjalankan konsultan politik bernama SpinDoctor Indonesia, ditunjuk sebagai komisaris operator tol Jasa Raharja.

Lalu ada Eko Sulistyo, yang membantu Jokowi  saat pertama kali beralih dari mantan pengusaha furnitur terjun ke politik dalam pemilihan walikota tahun 2005 di kota kelahirannya di Solo, Jawa Tengah, dan kini diminta jadi komisaris satu-satunya penyedia listrik negara, PLN.

Bagi BUMN  di Indonesia, peran dewan komisaris adalah mengawasi dan memberikan masukan atas pengelolaan perusahaan.

Meskipun begitu Dewan sendiri tidak memiliki kekuatan untuk membuat keputusan.

Ada 142 BUMN di Indonesia, dengan gaji bulanan bagi seorang komisaris berkisar dari setidaknya Rp80 juta hingga Rp3 miliar.

Dikutip Pikiran-Rakyat.com dari laman SCMP, setidaknya ada 17 orang pendukung Jokowi, yang sebagian besar merupakan tim resmi kampanye pemilihan presiden 2019 lalu, kini telah dilantik dalam satu sahun terakhir.


Lalu ada Eko Sulistyo, yang membantu Jokowi saat pertama kali beralih dari mantan pengusaha furnitur terjun ke politik dalam pemilihan walikota tahun 2005 di kota kelahirannya di Solo, Jawa Tengah, dan kini diminta jadi komisaris satu-satunya penyedia listrik negara, PLN.

Bagi BUMN di Indonesia, peran dewan komisaris adalah mengawasi dan memberikan masukan atas pengelolaan perusahaan.

Meskipun begitu Dewan sendiri tidak memiliki kekuatan untuk membuat keputusan.

Ada 142 BUMN di Indonesia, dengan gaji bulanan bagi seorang komisari s berkisar dari setidaknya Rp80 juta hingga Rp3 miliar.

Dikutip Pikiran-Rakyat.com dari laman SCMP, setidaknya ada 17 orang pendukung Jokowi, yang sebagian besar merupakan tim resmi kampanye pemilihan presiden 2019 lalu, kini telah dilantik dalam satu sahun terakhir.

Termasuk juru bicara presiden saat ini Fadjroel Rachman, yang saat ini juga menjabat sebagai komisari di perusahaan konstruksi Waskita Karya.

Seorang anggota Ombudsman negara, pengawas pemerintah, Alamsyah Saragih mengatakan jika ini adalah bentuk dari kronisme.

"Ini adalah bentuk kronisme, yang oleh pemerintah dianggap legal, tetapi sebenarnya menunjukkan kemunduran kenegarawanan di Indonesia," ujarnya.

Alamsyah Saragih mengatakan tak ada oposisi di Indonesia, dan saat ini Presiden Jokowi  sedang tak berdaya.

"Presiden Jokowi kini tak berdaya karena mendapat banyak 'tagihan' dari para pendukungnya. Akibatnya mereka diberi kursi di dewan komisaris perusahaan milik negara," katanya.

Hal itu disampaikannya merujuk argumen bahwa Jokowi telah memenangkan faksi oposisi di parlemen untuk memastikan koalisi yang stabil yang dapat mengesahkan undang-undang dengan mudah.

Dalam setahun terakhir, para aktivis sipil dan publik di negara demokrasi terbesar ketiga di dunia ini semakin frustrasi karena fokus Jokowi dalam menyeimbangkan kepentingan politik telah menahannya ketika harus melakukan reformasi yang berani.

Mereka menunjuk Presiden ketika Jokowi memilih untuk tidak memveto mosi parlemen tahun lalu yang mengakibatkan melemahnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) negara, yang telah menyelidiki politisi dan menteri pemerintah dalam upaya untuk merusak sistemik korupsi.

Disisi lain berpendapat bahwa Jokowi terikat pada partai politik yang dijalankan oleh mantan presiden Megawati Soekarnoputri, yang telah mendukungnya sejak pencalonan presiden pertamanya pada tahun 2014.

Sehingga Jokowi telah kehilangan atau tak memenuhi harapan ia akan menjadi 'manusia merakyat'.

yang merupakan ciri khas pemerintahan pemimpin otoriter Suharto hingga kejatuhannya pada tahun 1998.

Tahun lalu, Jokowi, yang berusaha memenangkan investasi asing untuk merombak infrastruktur Indonesia yang rusak dan menumbuhkan ekonomi dari 1.1 triliun dolar AS menjadi 7 triliun dolar AS pada tahun 2045.

Ia juga menunjuk mantan calon presiden Prabowo Subianto sebagai menteri pertahanan.

Saat ini Partai Prabowo bergabung dengan koalisi Jokowi di Dewan Perwakilan Rakyat, meningkatkan mayoritasnya menjadi lebih dari 74 persen dari total kursi.

" Jokowi tidak memiliki basis pendukung yang kuat. Dia mengandalkan tokoh masyarakat dan sukarelawan selama pemilu untuk mendapatkan pendukung, dan dia tahu bahwa dia wajib membalasnya," kata Sulfikar Amir, profesor madya di Sekolah Ilmu Sosial di Nanyang Technological University (NTU) di Singapura.

"Jokowi kemudian terjebak dalam agenda oligarki, yang menurutnya sejalan dengan tujuannya. Agenda ini tidak bisa dinilai kritis, kini hanya fokus pada peningkatan investasi, dan itu membawa kita kembali ke era Soeharto. Dia adalah Soeharto kecil, menurut saya," tambahnya.

Aktivis sangat kesal ketika Ulin mendapatkan perannya di Perusahaan Pengembangan Pariwisata setelah skandal tahun lalu.

Perlu diketahui setelah pemilihan presiden yang memecah belah itu, Ulin memposting di media sosial identitas seorang pria yang konon berencana untuk memenggal kepala presiden, namun kemudian terbukti palsu.

Hal tersebu membuat dia harus meminta maaf dan menghapus postingan tersebut, meskipun screenshot postingannya masih dapat ditemukan online.

Arya Sinulingga, yang pernah menjadi juru bicara kampanye pemilihan ulang Jokowi tahun lalu yang kini menjabat sebagai anggota staf khusus Kementerian BUMN, mengatakan tidak ada salahnya menunjuk pendukung Jokowi sebagai komisaris.

Ia mengatakan bahwa semua komisaris di perusahaan milik negara, termasuk pendukung Jokowi dipilih karena rekam jejak mereka.

Arya sendiri juga menjabat sebagai komisaris di produsen aluminium milik negara Inalum.

Berdasarkan temuan Ombudsman tahun lalu, 397 Komisaris di perusahaan milik negara, dan 167 komisaris di anak perusahaan BUMN, juga bekerja sebagai pejabat tinggi di kementerian atau lembaga negara, yang menurut pengawas pemerintah merupakan praktik yang melanggar hukum di Indonesia.

"Belum ada kemajuan berarti dalam pemberantasan kronisme di Indonesia sejak itu Reformasi," kata Alamsyah.

"Pemerintah belum menunjukkan tekad yang kuat untuk memperbaiki pengelolaan BUMN, mereka masih menerapkan cara lama dalam mengelolanya, yaitu memanfaatkannya sebagai sapi perah politik," pungkasnya.***

 

Editor: Paul

Sumber: Pikiran Rakyat


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah