Di Papua, Pendekatan Keamanan Harus di Hentikan, Oleh : Muhammad Johansyah

- 20 Mei 2024, 04:46 WIB
ilustrasi TNI dan Polri
ilustrasi TNI dan Polri /

PORTAL PAPUA - Di Papua, Pendekatan Keamanan Harus di Hentikan, Oleh : Muhammad Johansyah. (Kelompok Ahli Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua.(BP3OKP)

 

Konflik di Papua telah berlangsung sejak 1969, sumber utama konflik  adalah ketidak stabilan politik disertai dengan kekerasan yang  menjadi salah satu faktor penghambat kemajuan bangsa.   Kekerasan di Papua menorehklan afirmasi negative berupa peminggiran kemanusiaan, pengungsi domestik, kelaparan, tidak berfungsinya fasilitas pendidikan, kesehatan hingga lumpuhnya aktivitas pemerintahan. 

Menjelang millennium ke 3,  muncul gagasan mulia dari Presiden RI ke 3 KH DR Abdurrahman Wachid (Gus Dur) tentang pemberian Otonomi Khusus Papua.   Otonomi Khusus (Otsus) Papua setidaknya terinspirasi oleh dua hal.  Pertama : lahirnya delapan butir sasaran pembangunan milenium-Millenium Development Goal's (MDG's). MDG'S merupakan hasil dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang diselenggarakan di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, September 2000.   Hasil dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) selanjutnya  di ratifikasi oleh pemerintah dan dituangkan memalui UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.  

Kedua untuk menghapuskan kemiskinan ekstrim di Papua mengacu pada MDGs, mempertahankan Integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.    Gagasan Gus Dur setidaknya juga dipengaruhi dan mengacu pada pikiran dan faham "Negara Integralistik"-nya Prof DR Soepomo.

Negara Integralistik menurut Prof DR Soepomo adalah :  tatanan integral dimana semua kelompok sosial dan individu secara organis terkait satu dengan yang lainnya, Negara Integralistik juga didasarkan pada premis bahwa kehidupan kebangsaan dan kenegaraan terpatri dalam suatu totalitas, negara tidak boleh berpihak pada kelompok terkuat atau mayoritas dan menindas kelompok yang lemah-minoritas.

Otsus Papua  dilaksanakan sejak era Gus Dur 2001 terus berlanjut sampai saat ini (2024) dan memberikan dampak yang sangat positif bagi masyarakat Papua meskipun ada beberapa kendala yang terjadi di lapangan.  Dampak postif yang terjadi adalah kesehatan dan pendidikan masyarakat Papua semakin membaik, kesejahteraan dan kreativitas masyarakat untuk ikut berpartisipasi membangun daerah juga semakin mantap.   Dampak positif ini belum sepenuhnya menjadikan Provinsi Papua beranjak lepas dari kandang besi (iron cage) yang mengurung dan membelenggu mereka yaitu belenggu kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan srtuktural hingga saat ini.

Sejak Otsus Papua (2001) dicanangkan hingga saat ini (2024), kondisi Papua sangat memprihatinkan belum beranjak dari status Provinsi paling miskin di Indonesia, beberapa penyebab kemiskinan di Papua adalah :  infra struktur pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat yang belum menjangkau kebutuhan dan bisa dirasakan oleh seluruh masyarakat adat Papua. Sangat ironis. 

Otsus Papua tidak menyelesaikan masalah, Otsus hanya sebagai resolusi pembangunan bukan resolusi konflik.        Saya mengutip hasil penelitian dosen Universitas Binus Jakarta,  Tangguh Chairil[2] sekaligus untuk di-diskusikan-diperbincangkan oleh oleh aktivis HAM yang punya perhatian khusus tentang masa depan Papua.

Halaman:

Editor: Eveerth Joumilena


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah