Tenun terfo ini merupakan budaya Suku Sobey yang tinggal di Kampung Sawar, Distrik Sarmi, Kabupaten Sarmi.
Hari Suroto, Arkeolog dari Balai Aerkologi Papua mengungkapkan,budaya menenun ini merupakan pengetahuan yang diwariskan nenek moyang mereka.
"Pada masa lalu, kain terfo berfungsi sebagai pakaian dan untuk keperluan adat. Kain tenun terfo memiliki motif persilangan garis yang menarik," ujar Hari Suroto.
Suroto melanjutkan, proses pembuatan selembar kain tenun terfo membutuhkan waktu sekitar satu bulan. Mulai dari pengambilan bahan dari hutan, perebusan daun nibun, pewarnaan, pemintalan menjadi benang, hingga proses menenun. Sebagai bahan, hanya bagian daun pucuk muda pohon nibun yang bisa digunakan.
Baca Juga: Innalilahi, Eks Wakil Sekjen MU, Tengku Zulkarnain Meninggal Dunia karena Covid-19
"Pewarnaan setiap helai benang pada kain terfo juga menggunakan warna alam. Dalam proses pewarnaan, daun palem dikeringkan selama tiga hari, kemudian direbus selama satu jam, hingga serat-seratnya terlepas. Serat-serat itu disimpan dalam sebuah wadah. Setelah dingin dan kering, serat dipisah-pisah dan dibersihkan dalam air laut kemudian dibilas dengan air bersih," jelasnya.
Akhirnya serat-serat dikeringkan dengan dijemur selama beberapa jam dan dipilin menjadi benang. Benang selanjutnya dicelup ke dalam bahan pewarna merah, hitam, kuning, atau biru. Kemudian masuk proses penenunan menggunakan alat tenun gedogan yang sederhana.
Ragam hias yang ditenun pada kain itu terdiri dari garis-garis arah lungsi atau persilangan garis lungsi dengan garis pakan.
Editor: Atakey