Nabi Muhammad, Teladan dan Motivator Moderasi Beragama

- 13 Maret 2022, 05:42 WIB
Dr. Biltiser Bachtiar, Lc, MA.
Dr. Biltiser Bachtiar, Lc, MA. /kemenag.go.id

Atas segala kerumitan relasi dan potensi perpecahan sosial tersebut, Nabi Muhammad SAW menulis sebuah perjanjian untuk membangun dan mengikat perpaduan antara kaum Muhajirin dan Anshar. Kaum Yahudi Madinah (dari suku Aus dan Khazraj) juga turut menandatanganinya. Nabi Muhammad SAW menyetujui untuk menghormati agama dan harta mereka menurut persyaratan yang disepakati bersama. Selain itu, dokumen tersebut berisi kesepakatan untuk menghormati prinsip-prinsip nilai kebebasan, ketertiban, dan keadilan dalam kehidupan. 

Kelak, perjanjian ini seterusnya lebih masyhur dikatakan sebagai Piagam Madinah. Dengan cara ini, Yatsrib dan sekitarnya dinyatakan sebagai zona perdamaian serta merupakan tempat suci.

Praksis Toleransi

Toleransi yang diwujudkan dalam sikap berdiri di atas keadilan dan kebaikan tersebut oleh Nabi Muhammad SAW ditunjukkannya ketika berinteraksi dengan non-muslim yang berdamai dan tidak melakukan permusuhan. Imam Al-Bukhori dan Muslim meriwayatkan dari Asma binti Abi Bakar bahwa ibunya yang musyrik pernah datang kepadanya. Lalu dia meminta fatwa kepada Rasulullah. Asma bertanya, "Ibuku datang kepadaku dan dia ingin agar aku berbuat baik kepadanya. Apakah aku harus berbuat baik kepadanya?" Rasulullah menjawab, "Ya, berbuat baiklah kepadanya."

Sikap toleran Muhammad SAW tersebut semakin jelas terlihat ketika beliau memperlakukan Ahli Kitab, baik Yahudi ataupun Nasrani. Beliau sering mengunjungi mereka. Beliau juga menghormati dan memuliakan mereka. Jika ada di antara mereka yang sakit, beliau menjenguknya. Beliau pun menerima hadiah mereka dan memberi hadiah kepada mereka. 

Dalam sirahnya, Ibnu Ishaq menyebutkan, "Ketika rombongan kaum Nasrani Bani Najran datang kepada Rasulallah SAW di Madinah, mereka menemui beliau di dalam masjid selepas salat Asar. Mereka masuk masjid dan salat di sana. Orang-orang pun hendak melarang mereka, namun Nabi berkata, biarkan mereka. Lalu mereka pun salat dengan menghadap ke arah Timur." 

Atas kejadian tersebut, Ibnul Qayyim memberikan sebuah komentar yang mengandung muatan fikih. Dia menulis, "Ahli Kitab boleh memasuki masjid dan melaksanakan salat di masjid di hadapan umat Islam, dengan syarat hal tersebut dilakukan jika ada sesuatu sebab dan tidak menjadi kebiasaan.” 

Di dalam Al-Amwal Abu Ubaid menyebutkan sebuah riwayat dari Said bin Al-Musayyib, bahwa Rasulullah SAW pernah mengeluarkan shadaqah kepada keluarga orang Yahudi. Al-Bukhori meriwayatkan dari Anas, bahwa Nabi pernah menjenguk orang Yahudi. Lalu beliau mengajaknya untuk masuk Islam hingga dia masuk Islam. Setelah itu, beliau keluar dan bersabda, "Segala puji bagi Allah yang dengan perantaraku telah menyelamatkan dia dari api neraka." 

Dalam hadits lain, Al-Bukhori meriwayatkan, ketika Rasulullah SAW wafat, baju perangnya masih digadaikan kepada orang Yahudi untuk memberi nafkah keluarganya. Padahal, beliau bisa meminjam kepada para sahabat. Namun ini tidak berarti bahwa para sahabat kikir kepada beliau. Beliau hanya ingin memberikan pelajaran kepada umatnya, bahwa beliau menerima hadiah dari non-muslim, selama mereka tidak berbuat jahat dan makar, dalam keadaan damai maupun perang. 

Contoh lainnya, suatu hari jenazah seorang Yahudi lewat di depan Nabi. Lalu beliau berdiri. Para sahabat berkata, "Itu adalah jenazah Yahudi!," beliau menjawab, "Bukankah dia juga manusia?" Ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah seorang moderat, sangat menghargai semua orang walaupun berbeda suku, ras, dan agama. 

Halaman:

Editor: Eveerth Joumilena

Sumber: kemenag.go.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x