Berbagai maskapai penerbangan perintis silih berganti beroperasi di Papua, dari maskapai Nugini Belanda atau De Kroonduif, kemudian penerbangan misi seperti MAF dan AMA, hingga maskapai milik Merpati, hingga kini Susi Air.
Sebelum jalan darat dibuka dari wilayah Nabire ke berbagai daerah di pegunungan tengah Papua, semua perjalanan dilakukan menggunakan pesawat perintis.
Baca Juga: Dipercaya Beri Keturunan, Batu Kelamin di Raja Ampat Jadi Destinasi Unggulan Wisatawan
Papua memiliki 300 lapangan terbang. Penerbangan perintis ini sangat membantu mobilitas penumpang hingga distribusi barang. Dari Enarotali Paniai, Moanemani Dogiyai, Mapia atau Modio Dogiyai, pesawat perintis sering memuat hasil pertanian hingga kopi ke Nabire.
Namun setelah akses darat mulai lancar, keberadaan sejumlah lapangan terbang perintis mulai sepi, seperti terlihat pada lapangan terbang Modio, Dogiyai. Selain itu Lapangan Kelila di Lembah Baliem bagian barat.
Baca Juga: Sinopsis Dari Jendela SMP SCTV, Rabu 10 Maret 2021,Ken Marah Besar saat Hampiri Reno
Lapangan terbang Modio dan lapangan terbang perintis lainnya di wilayah pegunungan Papua, harus tetap dipertahankan keberadaannya sebagai saksi penting awal peradaban dan saksi keberadaan penerbangan perintis dulunya.
Lapangan terbang perintis tak boleh dialihfungsikan menjadi pemukiman atau bangunan lain. Namun lapangan tersebut bisa dimanfaatkan untuk kegiatan atau acara budaya maupun acara keagamaan yang melibatkan banyak orang.
Baca Juga: Meski Jadi Destinasi Wisata, Situs Benteng Yenbekaki di Pulau Raja Ampat Disakralkan
Lapangan terbang perintis perlu terus dipertahankan keberadaannya, karena lapangan tersebut adalah saksi penting awal peradaban di Lembah Baliem, Paniai, Dogiyai, Deyai maupun Intan Jaya. (Hari Suroto, Arkeolog Balai Arkeologi Papua)
Editor: Atakey